BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral
dalam pandangan islam. Pernikahan juga merupakan suatu dasar yang penting dalam
memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan
memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana
dalam masyarakat.
Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan
perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga dengan tujuan
untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah membentuk keluarga
sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah
tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja
masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah
mengatur segala hal tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (talak),
rujuk, idah, dan sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat
membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini
antara lain dibolehkan apabila suami istri sudajh tidak dapat melakukan
kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, seingga tujuan rumah
tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia
sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan
penderitaan-penderitaan dan perpecajhan antara suami istri tersebut, maka dalam
keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi
segala penderitaan bailk yang menimpa suami atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh
suaminya, baik vcerai biasa atau cerai mati (ditinggal mati), tidakl boleh
langsung menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus menunggu untuk
sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu bagi wanita yang bercerai itu
disebut iddah. Diadakan masa iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah
selama masa iddah itu wanita tersebut hamil atau tidak, dan jika ternyata hamil
maka anak tersebut masih sebagai anak dari suami yang pertama. Selain itu,
iddah dimaksudkan sebagai masa untuk ‘berpikir ulang’ bagi suami istri untuk
menetukan kelanjutan hubungan mereka. Jika ternyata dalam masa iddah itu, suami
istri menyesali perceraian mereka, mereka bisa rujuk atau kembali ke ikatan
pernikahan mereka yang lama. Aturan-aturan tentang talak, iddah, dan rujuk
telah diatur dengan lengkap dalam agama islam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan
tentang Talak?
2.
Jelaskan
tentang Rujuk?
3.
Jelaskan
tentang Ihdad?
BAB II
TALAK
A.
Pengertian Talak
Kata
“thalak” dalam bahasa Arab berasal dari kata thalaqa-yathalaqu-thalaqa yang bermakna melepas atau mengurai
tali pengikat. Dalam hubungannya dengan pernikahan, thalaq berarti lepasnya
ikatan pernikahan dengan ucapan thalaq atau lafal lain yang dimaksudkan sama
dengan thalaq.
Fiqih As-Sunnah memberikan definisi
thalaq sebagai berikut:
حُلُّ رَابِطَةٍ
الزَّاوَاجِ وَاِنْهَاءُ الْعَلاَ قَةِ الزَّوْجِيَّةِ
“thalaq adalah melepaskan tali pernikahan dan
mengakhiri hubungan suami istri”
Talak
adalah perceraian melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan
mengucapkan lafadz yang tertentu, misalnya suami berkata terhadap istrinya: “
Engkau telah ku talak” dengan ucapan ini ikatan nikah itu telah menjadi lepas,
artinya suami istri telah menjadi bercerai.
Yang
dimaksud melepaskan tali pernikahan ialah memutuskan ikatan perkawinan yang
dulu diikat oleh aqad (ijab qabul), sehingga status suami istri di antara mereka
menjadin hilang. Termasuk hilangnya hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Thalaq adalah hak suami, artinya istri tidak bisa melepaskan diri dari ikatan
pernikahan kalau tidak dijatuhkan oleh suami. Namun sekalipun suami diberi hak
untuk menjatuhkan thalak, islam tidak membenarkan suami menggunakan haknya itu
dengan sewenang-wenang dan gegabah, apalagi kalau hanya karena menuruti hawa
nafsunya.
Rasulullah bersabda:
اَبْغَضُ الْحَـلاَلِ
اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ
“Perbuatan halal yang
paling dibenci Allah adalah perceraian” (HR
Abu Daud dan Hakim)
B.
Hukum Talak
Berkata Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan: “Adapun hukumnya
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah,
terkadang hukumnya makruh, terkadang hukumnya mustahab (sunnah), terkadang
hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya haram. Hukumnys sesuai dengan hukum yang
lima.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy,
hlm 410)
1.
Makruh
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika suami
menjatuhkan talak tanpa ada hajat (kebutuhan) yang menuntut terjadinya
perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan baik.
2.
Haram
Talak yang hukumnya haram yaitu ketika di
jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu suami menjatuhkan talak dalam
keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan talak ketika
istri sedang dalam keadaan haid
Kedua : Suami menjatuhkan talak kepada
istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
3.
Mubah (boleh)
Talak yang hukumnya mubah yaitu ketika suami berhajat
atau mempunyai alasan untuk menalak istrinya. Seperti karena suami tidak
mencintai istrinya, atau karena perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada
istri sementara suami tidak sanggup bershabar kemudian menceraikannya. Namun
bershabar lebih baik.
فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا
كَثِيرًا
“Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’ : 19)
4.
Sunnah
Talak yang hukumnya
sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta mencegah
kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya
masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak bisa
hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai
seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini terhitung
sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman firman
Allah subhaanahu wata’ala :
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا
بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
“Dan
berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.” (Qs. Al Baqarah :195)
5.
Wajib
Talak yang hukumnya
wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan menggauli
istrinya,.) setelah masa penangguhannya selama empat bulan telah habis,
bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya untuk
menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan talak tersebut. (Taudiihul Ahkam : 5/488, Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy, hlm. 410, Fiqih Muyyasar, hlm. 306)
C.
Macam-Macam Talak
Ditinjau dari segi waktunya
talak menjadi tiga macam yaitu :
1.
Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan
sesuai dengan tuntutan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi 4 (empat)
syarat yaitu :
a. isteri
yang ditalak sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli maka bukan
termasuk talak sunni.
b. isteri
dapat segera melakukan menunggu ‘iddah’ suci setelah ditalak
yaitu dalam keadaan suci dari haid.
c. talak
itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik dipermulaan,
dipertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid.
d. suami
tidak pernah menggauli isteri selama masa suci di mana talak itu dijatuhkan.
Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika isteri dalam keadaan suci dari haid
tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
2.
Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak
sesuai atau bertentangan dengan tuntutan sunnah dan tidak memenuhi ketentuan
syarat-syarat talak sunni. Termasuk dalam talak bid’i adalah :
a. talak
yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid (menstruasi) baik dipermulaan
haid maupun dipertengahannya.
b. talak
yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh
suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
Ditinjau dari segi dan tegasnya kata-kata
yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam
yaitu:
1.
Talak Sharih yaitu talak dengan mempergunakan
kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau
cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.
Beberapa
contoh talak sharih adalah
·
engkau saya talak sekarang
juga. Engkau saya cerai sekarang juga
·
engkau saya firaq sekarang
juga. Engkau saya pisahkan sekarang juga
·
engkau saya sarah sekarang
juga. Engkau saya lepas sekarang juga.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap
isterinya dengan talak sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya
sepanjang ucapan itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya
sendiri.
2.
Talak Kinayah yaitu talak dengan menggunakan
kata-kata sindiran, samar-samar seperti contoh :
·
engkau sekarang telah jauh
dariku
·
selesaikan sendiri segala
urusanmu
·
janganlah engkau mendekati
aku lagi
·
pulanglah ke rumah ibumu
·
saya sekarang telah sendiri
dan hidup membujang
Ucapan-ucapan tersebut mengandung sebuah
kemungkinan cerai dan mengandung kemungkinan lain. Tentang kedudukan talak
dengan kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana dikemukakan oleh
Taqiyuddin Al Husaini, tergantung kepada niatnya seseorang artinya jika suami
dengan kata-kata tersebut berniat untuk menjatuhkan talak maka talak jatuh,
akan tetapi jika tidak berniat untuk menjatuhkan talak, maka talak tidak jatuh.
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya
kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas isteri, maka talak dibagi menjadi
dua macam, sebagai berikut :
·
Talak Raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami
terhadap isterinya yang telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti
harta dari isteri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Setelah
terjadi talak raj’I, maka isteri wajib ber iddah, hanya bila kemudian suami
hendak kembali kepada isteri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itru dapat
dilakukan dengan jalan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut suami tidak
menyatakan rujuknya, maka talak tersebut berubah menjadi talak bain dengan
berakhir iddahnya.: kemudian jika sesudah berakhir iddahnya itu suami ingin kembali
kepada bekas isterinya, maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan
mahar yang baru pula. Talak raj’i hanya terjadi dengan talak yang pertama dan
kedua saja`
·
Talak Ba’in yaitu talak yang tidak memberi
hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan
bekas isteri ke dalam ikatan perkawinan harus melalui akad nikah baru lengkap
dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Talak
bain terbagi dua macam yaitu :
a. Talak
Bain Sughra yaitu talak bain yang menghilangkan kepemilikan bekas suami
terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk
menikahkan kembali dengan bekas isterinya tersebut. Termasuk talak bain sughra
adalah
·
talak sebelum berkumpul
·
talak dengan pergantian harta yang disebut
khulu
·
talak karena aib (cacat badan), karena salah
seorang dipenjara, talak karena penganiayaan atau yang semacanya.
b. Talak
Bain Kubra yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas
isteri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas
isterinya, kecuali setelah bekas isteri itu kawin lagi dengan lelaki lain,
telah berkumpul dengan suami kedua serta telah bercerai secara wajar dan telah
selesai menjalankan iddahnya. Talak bain kubra terjadi pada talak yang ketiga
Ditinjau dari sega cara suami menyampaikan
talak terhadap isterinya ada 4 (empat) macam yaitu:
1.
Talak dengan ucapan yaitu talak yang
disampaikan oleh suami dengan ucapan dihadapan isterinya dan isteri mendengar
secara langsung ucapan tersebut.
2.
Talak dengan tulisan yaitu talak yang
disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada isterinya,
kemudian isteri membacanya dan memahami isi dan maksudnya. Talak yang
dinyatakan secara tertulis dapat dipandang jatuh (sah), meski yang bersangkutan
dapat mengucapkannnya, sebagaimana talak dengan ucapan ada talak sharih dan
kinayah, maka talak dengan tulisan pun demikian pula.
3.
Talak dengan isyarat yaitu talak yang
dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara. Isyarat
bagi suami yang tuna wicara dapat dipandang sebagai alat komunikasi untruk
memberikan pengertian dan menyampaikan maksud dan isi hati. Oleh karena itu,
isyarat baginya sama dengan ucapan bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan
talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan bermaksud talak atau
mengakhiri perkawinan.
Sebagian
fuqaha mensyaratkan bahwa untuk sahnya talak dengan isyarat bagi orang yang
tuna wicara itu adalah buta huruf. Jika yang bersangkutan mengenal tulisan dan
dapat menulis, maka talak baginya tidak cukup dengan isyarat, karena tulisan
itu lebih dapat menunjuk maksud ketimbang isyarat, dan tidak beralih dari
tulisan ke isyarat, karena kecuali darurat yakni tidak dapat menulis.
4.
Talak dengan utusan yaitu talak yang
disampaikan oleh suami kepada isteri melalui perantaraan orang lain sebagai
utusan untuk meyampaikan maksud suami itu kepada isterinya yang tidak berada di
hadapan suami bahwa suami mentalak isterinya. Dalam hal ini utusan sebagai
wakil dari suami tersebut.
D. RUKUN
DAN SYARAT TALAK
Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada
dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan kelengkapannya unsur-unsur
tersebut. Adapun rukun talak ada 4 (empat) yaitu:
1.
Suami. Suami adalah yang memilki hak talak
dan yang berhak menjatuhkannya. Selain suami tidak berhak menjatuhkannya, oleh
karena itu talak bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak
mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah
Untuk
sahnya talak suami memiliKi 3
(tiga) syarat yaitu :
a. berakal,.
Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam
hal ini adalah hilang ingatan atau rusak akal karena sakit, pitam, hilang akal
karena sakit panas, sakit ingatan karena rusak akal sarafnya.
b. baligh.
Harus sudah dewasa
c. atas
kemauan sendiri. Yang dimaksud ialah adanya kehendak pada diri sendiri untuk
menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri bukan paksaan dari
orang lain. Kehendak dan kerelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan
pertanggung jawaban. Oleh karena itu orang yang dipaksa melakukan sesuatu
(dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya
2.
Isteri. Masing-masing suami hanya berhak
menjatuhkan talak terhadap isterinya sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang
diucapkan terhadap isteri orang lain.
Untuk
sahnya talak, isteri memiliki syarat sebagai berikut :
a. isteri
itu masih tetap berada dalam perlindungan suami. Isteri yang menjalani masa
iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam
perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam hal ini masa itu suami
menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak
yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak
bain, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas isterinya
meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak bain itu bekas isteri tidak lagi
berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami.
b. kedudukan
isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. Jika
ia menjadi isteri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhadap
wanita dalam masa iddahnya atau akad nikah dengan perempuan saudara isterinya
(memadu antar dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya
padahal suami pernah menggauli ibu anak tirinya dan anak tiri itu berada dalam
pemeliharaannya, maka talak yang demikian dipandang tidak ada.
c. sighat
talak. Ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya
yang menunjukan talak, baik itu sharih maupun kinayah, baik berupa ucapan maupun
tulisan, isyarat bagi suami yang tuna wicara atau pun dengan suruhan dia. Talak
tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap isteri menunjukan
kemarahannya, semisal suami memarahi isteri, memukulnya, mengantarnya ke rumah
orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya tanpa disertai penyertaan talak,
maka yang demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada
dalam pikiran dan angan-angan, tidak diucapkan tidak dipandang sebagai talak.
Pembicaraan suami tentang talak tetapi tidak ditujukan terhadap isterinya maka
itupun bukan talak.
d. qashdu
(sengaja) artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang
mengucapkannya untuk talak, bukan maksud lain. Oleh karena itu salah ucap yang
tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami
memberikan buah salak kepada isterinya. Ia mengucapkan kepada isterinya “ini
buah talak untuk mu” maka ucapan tersebut tidak menjatuhkan talak.
BAB III
RUJUK
A.
Pengertian Rujuk
Rujuk artinya
kembali. Menurut syara' adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya
dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah talak raj'i.
....وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا.....
Artinya:
"Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki
islah."(Q.S. Al-Baqarah:228)
Bila seseorang
telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan dianjurkan untuk rujuk
kembali dengan syarat bila keduanya betul-betul hendak kembali (islah). Dengan
arti bahwa mereka benar-benar sama-sama saling mengerti dan penuh rasa tanggung
jawab antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, bila suami mempergunakan
kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat islah, bahkan sebaliknya untuk
mengniaya tanpa memberi nafkah, atau semata-mata untuk menahan istri agar
jangan menikah dengan orang lain, dan sebagainya. Maka suami tidak berhak untuk
merujuk istrinya itu, malah haram hukumnya.
B.
Macam-Macam Rujuk
Mengenai macamnya
rujuk, hanya dapat dilakukan dalam talak yang raj'i selama istri masih dalam
masa iddah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُمَا لَمَّاسَأَلَهُ سَائِلٌ قَالَ: اَمَا اَنْتَ
طَلَقْتَ اِمْرَاَتَكَ مَرَّةً اَوْمَرَّتَيْنِ فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ اَمَرَنِى
اَنْ اُرَجِعُهَا (رواه
مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar r.a waktu itu ia ditanya oleh
seseorang, ia berkata,"Adapun engkau yang telah mencerikan istri baru
sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW. telah menyuruhku merujuk
istriku kembali."(HR.Muslim)
Firman Allah SWT:
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ....
Artinya:
"Apabila kamu menalak istri-istrimu,
lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang
baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula."(Q.S.
Al-Baqarah:231)
C.
Syarat dan Rukun Rujuk
Syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara
lain:
1.
Isrti,
dengan syarat:
a. Sudah digauli oleh suaminya. Jika belum digauli
kemudian dithalak, maka jatuh thalaq ba’in shughra, maka tidak boleh dirujuk
oleh mantan suaminya.
b. Thalak yang dijatuhkan adalah thalak raj’i.
c. Masih dalam masa iddah
2.
Suami,
dengan syarat:
a. Baligh
b. Sehat akalnya
c. Atas kemauan sendiri
3.
Shighat
(ucapan) rujuk
shighat ada dua macam, yaitu:
a. Dengan cara terang-terangan, misalnya, “Saya
kembali kepada istri saya” atau “Saya rujuk kepadamu”.
b. Dengan sindiran, misalnya, “saya pegang
engkau” atau “saya ingin engkau”. Akan tetapi rujuk dengan kata-kata kiasan harus
dibarengi dengan niat merujuk sebab kalau tidak maka rujuknya tidak sah.
Rukun rujuk antara lain:
a.
Ada
suami yang merujuk atau wakilnya
b.
Ada
istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya
c.
Kedua
belah pihak (suami dan istri) sama-sama suka
d.
Dengan
pernyataan ijab qobul, seperti mengucapkan kata-kata rujuk misalnya:"aku
rujuk engkau pada hari ini". Atau: "telah ku rujuk istriku yang
bernama:……..pada hari ini".dan sebagainya.
D.
Hikmah Rujuk
Setiap perbuatan
seseorang pasti mengandung hikmah dan manfaat yang besar bagi manusia.
Disyariatkannya rujuk terhadap suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya
mengandung beberapa hikmah, antara lain sebagai berikut:
1.
Sebagai
sarana untuk mempertimbangkan kembali perceraian yang telah dilakukan, apakah
perceraian tersebut disebabkan oleh emosi, hawa nafsu atau semata-mata karena
kemaslahatannya.
2.
Sebagai
sarana untuk mempertanggujawabkan anak-anak mereka secara bersama-sama, baik
dalam pemeliharaan, nafkah dan lain-lain.
3.
Sebagai
sarana untuk menjamin kembali pasangan suami istri yang bercerai,
sehinggapasangan tersebut bisa lebih hati-hati, saling menghargai dan
menghormati, yang pada akhirnya akan menciptakan pasangan yang serasi dan
harmonis.
4.
Rujuk
berarti juga islah,
yaitu perbaikan hubugan diantara dua manusia atau lebih, sehingga akan timbul
kebaikan dan rasa saling menyanyangi yang lebih besar.
5.
Rujuk
akan menghindari perpecahan hubungan kekerabatan di antara keluarga suami atau
istri.
6.
Rujuk
dapat menghindari perbuatan dosa dan maksiat, baik yang mungkin dilakukan oleh mantan
suami maupun mantan istri.
Iddah
A. Pengertian
dan Hukum Iddah
Iddah
berasal dari kata adad, artinya menghitung. Maksudnya adalah perempuan (istri)
menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.
Dalam
istilah agama, iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan
tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah bercerai dari
suaminya.
Jadi,
iddah artinya satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai mati
atau cerai hidup, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi
atau kosong dari kandungan. Allah berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya
menahan diri (menunggu tiga kali Quru')…"(Q.S. Al-Baqarah:228)
B.
Macam-macam Iddah
Menurut sebab musababnya, iddah itu terbagi
atas beberapa macam, yaitu:
1. Talak
Artinya iddah yang terjadi karena perceraian.
Perempuan yang berada dalam iddah talak, yaitu:
a.
Perempuan
yang telah dicampuri dan ia belum putus dalam haid.
Iddahnya ialah tiga
kali suci dan dinamakan juga tiga kali quru'. Firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِر
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tiga
kali Quru'). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".(Q.S.
Al-Baqarah:228)
b.
Perempuan
yang di campuri dan tidak berhaid, baik ia perempuan yang belum baligh maupun
perempuan tua yang tidak haid.
Perempuan yang
tidak berhaid sama sekali sebelumnya, atau kemudian terputus haidnya, maka
iddahnya adalah tiga bulan. Firman Allah SWT:
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah
mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak
haid".(At-Thalak:4)
c.
Perempuan
yang tertalak dan belum disetubuhi
Bagi perempuan
seperti ini, tidak ada iddah baginya. Firman Allah SWT:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ
عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا....
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya."(Q.S. Al-Ahzab:49).
Dari uraian diatas, maka dapaat disimpulkan
bahwa hak suami selama istri yang ditalak dalam masa iddah, maka ia boleh
merujuknya kembali, kecuali kepada mantan istrinya yang ditalak ba'in sebab
apabila suami hendak kembali kepada mereka harus dengan akad nikah baru. Khusus
dalam talak tiga, apabila mantan suami hendak merujuk kembali, maka mantan
istri harus sudah menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai serta sudah
bercampur dengan suami kedua. Sedang dalam talak li'an, suami sama sekali tidak
mempunyai hak untuk merujuk kembali.Adapun kewajiban kepada mantan istri yang
ditalak, maka selama dalam masa iddah, ia wajib memberikan nafkah dan tempat
tinggal sesuai dengan jenis talaknya.
2. Iddah Hamil
Artinya iddah yang terjadi apabila
perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil. Iddah mereka adalah
sampai melahirkan anak.
Firman Allah SWT:
...وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada
Allah niscaya Allah menjadikannya baginya kemudahan dalam urusannya."
Perceraian ini terjadi baik cerai hidup
ataupun cerai mati. Dalam sebuah hadits Nabi SAW. Disebutkan:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنِ المِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ: أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ
نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ، فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ، «فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
(رواه البخارى)
Artinya:
"Dari Miswar bin Mukhazamah r.a bahwa Subai'ah Al-Aslamiyah, pernah
melahirkan anak sesudah suaminya meninggal dalam beberapa malam berselang.
Kemudian ia datang kepada Nabi SAW. minta izin untuk menikah, lalu diizinkan
oleh Rasulullah SAW. maka iapun menikah."(HR. Bukhari).
Kalau hamil dengan anak kembar, maka iddahnya
belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua. Sedangkan perempuan yang
keguguran, maka iddahnya ialah sesudah melahirkan pula. Ayat itu menunjukkan
bahwa iddah mati, sempurna badannya atau cacat, ruhnya ditiupkan atau belum.
3. Iddah Wafat
Yaitu iddah terjadi apabila seorang perempuan
ditinggal mati oleh suaminya. Dan iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا......
Artinya:
"Orang-orang yang meninggal dunia
diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu)
menangguhkan dirinya (beriddah)empat bulan sepuluh hari."(Q.S.
Al-Baqarah:234).
Apabila perempuan ditalak raj'I oleh
suaminya, kemudian suaminya meninggal selama ia masih masa iddah, maka
perempuan itu iddahnya seperti perempuan yang ditinggal mati suaminya. Karena
ketika ia ditinggal mati suaminya, pada hakikatnya ia masih sebagai
istrinya.Kecuali kalau ditinggal mati sedang dalam keadaan mengandung, maka
iddahnya memilih yang terpanjang dair kematian suaminya, atau malahirkan.
Demikian pendapat yang mashur.
4. Iddah wanita yang kehilangan suami
Bila ada seorang yang kehilangan suaminya,
dan tidak diketahui dimana suaminya itu berada,apakah ia telah mati atau masih
hidup,maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya.sesudah itu hendaklah ia
beriddah pula empat bulan sepuluh hari.
عَنْ
عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:اَيُّمَاامْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَالَمْ
نَدْرٍاَيْنَ هُوَفَاِنَّهَاتَنْتَظِرُاَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ
اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعِشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ (رواه مالك)
Artinya:
"Dari Umar r.a. berkata: "bagi perempuan
yang kehilangan suaminya, dan ia tidak mengetahui dimana suaminya berada,
sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia
beriddah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah."(HR.Malik).
Kalau suami itu hilang dalam pertempuran dan
belum diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka wajiblah bagi istri
menunggu setahun. Dalam sebuah hadits Nabi SAW, disebutkan:
عَنْ
سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:اِذَافُقِدَ فِى الصَّفِّ
فِى الْقِتَال تَتَرَبَّصُ اِمْرَاَتُهُ سَنَةً(رواه البخارى)
Artinya:
Dari Said bin Mussayyah r.a. berkata, "apabila seseorang hilang
dalam barisan pertempuran,hendaknyalah istrinya menunggu setahun
lamanya."(HR. Bukhari).
Kalau suaminya hilang dalam tawanan dan tidak
diketahui tempatnya, maka ia di hukumi sebagai suami yang hilang tidak menentu
tempatnya.
Hadits Nabi SAW:
قَالَ
اَلزُّهْرِى فِى الاَسِيْرِ يُعْلَمْ مَكَانُهُ: لاَتَتَزَوَّجُ اِمْرَأَتُهُ
وَلاَيُقْسَمُ مَالُهُ فَاِذَانْقَطَعَ خَبَرُهُ
فَسُنَّتُهُ سُنَّةُالْمَفْقُوْدِ(رواه البخارى)
Artinya:
Berkata zuhri dala perkara tawanan yang diketahui tempatnya:
"istrinya itu tidak boleh menikah, dan hartanya itu belum boleh
dibagi-bagi, bila telah putus kabar beritanya, maka aturannya adalah aturan
suami yang hilang."(HR.Bukhari)
Sebelum iddah itu sampai, hukumnya haram bagi
perempuan itu menikah. Allah SWT berfirman:
.......وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ
الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ
فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya:
"Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah
sebelum habis masa iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya…"(Al-Baqarah:235)
5. Iddah perempuan yang di Ila'
Jumhur fuqaha mengatakan bahwa ia harus
menjalani iddah. Sebaliknya, Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib
iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali selama masa empat bulan. Pendapat
ini juga dijadikan pegangan oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula oleh
Ibnu Abbas r.a. dengan alasan bahwa diadakannya iddah adalah untuk mengetahui
kosongnya rahim.Jumhur fuqaha beralasan bahwa istri yang
di Ila' adalah istri yang dicerai juga, maka ia harus beriddah
seperti perempuan yang dicerai.
C.
Hikmah
Iddah
Adapun hikmah adanya iddah adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang
perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.
b. Memberi kesempatan kepada suami istri yang
berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal
tersebut baik.
c. Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu
untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo
berfikir panjang.
d. Kebaikan perkawinan tidak terwujud sebelum
kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
e. Iddah adalah masa berfikir kembali lagi atau
berpisah
f. Waktu iddah baik bagi pihak ketiga untuk
usaha merujuk kembali
g. Masa penyelesaian segala masalah bila masih
ada masalah dan akan tetap berpisah
h. Masa pealihan untuk menentukan hidup baru
i.
Sebagai
waktu berkabung bila suaminya meninggal dunia
j.
Masa
untuk menentukan kosong tidaknya istri dari suami.
BAB 1V
IHDAD
A. Pengertian Ihdad
Ahlul lughah
berpendapat bahwa ihdad adalah al-man’u. Sedangkan al-hidadu secara bahasa artinya hal tidak
berpakian baik (berhias) karena kematian suami, atau perkabungan.Ibnu
Darsutawaih mendefinisikan makna ihdad dengan tidak mengenakan perhiasan baik
berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik orang
lain untuk menikahinya.
B. Dasar Hukum Ihdad
Dalil Al-Qur’an
·
QS.
Al-Baqarah: 234,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ
أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ.
Artinya: "Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat" (QS.
Al-Baqarah: 234(.
Dalil As-Sunnah
·
Hadits
dari Ummu ‘Athiyyah ra.,
أُمُّ عَطِيَّةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُحِدَّ
الْمَرْأَةُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ
عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلاَ تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلاَّ
ثَوْبَ عَصْبٍ وَلاَ تَكْتَحِلُ وَلاَ تَمَسُّ طِيبًا إِلاَّ إِلَى أَدْنَى
طُهْرَتِهَا إِذَا طَهُرَتْ بِنُبْذَةٍ مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ. رواه النسائ.
Artinya: diriwayatkan
dari Ummu ‘Athiyyah ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya wanita
tidak boleh berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali
atas kematian suaminya, maka berkabung empat bulan sepuluh hari. Wanita
tersebut tidak boleh mengggunakan pakaian berwarna melainkan hanya pakaian yang
kasar (tidak memikat), tidak boleh memakai celak mata, dan tidak boleh memakai
wewangian, kecuali jika telah habis masa iddahnya.” (HR. An-Nasa’i)
Hadits dari Zainab bintu Abu Salamah ra.,
سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ تَقُولُ جَاءَتْ
امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ
عَيْنَهَا أَفَتَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ
أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي
بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ. رواه مسلم.
Artinya: "Aku
telah mendengar Ummu Salamah berkata: “Seorang wanita datang menemui Rasulullah
dan berkata,’Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya putriku ditinggal mati suaminya,
dan ia mengeluhkan sakit pada matanya. Apakah ia boleh mengenakan celak
mata?’.” Lalu Rasulullah menjawab “Tidak!” sebanyak dua atau tiga kali,
semuanya dengan kata tidak. Kemudian Rasulullah berkata: “Itu harus empat bulan
sepuluh hari, dan dahulu, salah seorang dari kalian pada zaman jahiliyah
membuang kotoran binatang pada akhir tahun.”(HR. Muslim)
Hadits dari Ummu Habibah ra.,
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى
زَوْجِهَا. رواه مسلم.
Artinya: "Tidak
boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung
atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya. (HR. Muslim)
C. Pembagian Ihdad
Ihdad ditinjau dari sudut syar’i dibagi
menjadi dua:
a. Ihdad wanita yang ditinggal mati suaminya
selama empat bulan sepuluh hari.
b. Ihdad wanita yang ditinggal mati selain suaminya
selama tiga hari.
Pembagian ini berdasarkan hadits Rasulullah
SAW.,
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ
تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ
ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا. رواه مسلم.
Artinya: "Tidak
boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung
atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya.(HR.
Muslim)
Dan dalam riwayat Bukhari terdapat tambahan
lafadz:
فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ وَعَشْرًا.
Artinya: "Maka ia berkabung atas hal
tersebut selama empat bulan sepuluh hari."
D. Waktu Berkabung Dan Cara Menghitung Harinya
Masa berkabung bagi
wanita adalah empat bulan sepuluh hari. Ini berlaku pada semua wanita, kecuali
yang hamil. Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, masa berkabungnya sampai
melahirkan, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَأُولاَتُ الأَحْمَالِ
اَجَلَهُنَّ اَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّهُ مِنْ
اَمْرِهِ يُسْرًا.
Artinya: "Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. Ath-Thalaq: 4)
Juga hadits Subai’ah ra. yang berbunyi,
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ
سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي
بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا
فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا
بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ
فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ
الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ
النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ
أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ
جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ
حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي. رواه
مسلم.
Artinya:
"Umar bin Abdillah bin Al-Arqam Az-Zuhri
menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya, bahwa
Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa ia (Subai’ah) adalah istri Sa’ad
bin Khaulah yang berasal dari Bani ‘Amir bin Lu’ai dan dia ini termasuk orang
yang ikut perang Badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan
Subai’ah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah suaminya wafat, ia
melahirkan. Ketika selesai nifasnya, maka Subai’ah berhias untuk dinikahi. Abu
Sanaabil bin Ba’kak seorang dari Bani Abduddar menemuinya sembari berkata:
“Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi
Allah! Kamu tidak boleh menikah sampai selesai empat bulan sepuluh hari.”
Subai’ah berkata: “Ketika ia bicara demikian kepadaku, maka aku memakai
pakaianku pada sore harinya, lalu aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal
tersebut. Kemudian Rasulullah memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal
dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan.” (HR.
Muslim)
Oleh karena itu Imam Ibnu Al-Qayyim
menyatakan: “Adapun orang yang hamil, jika telah melahirkan, maka gugurlah
kewajiban berkabungnya tersebut menurut kesepakatan mereka (para ulama),
sehingga ia boleh menikah, berhias dan memakai wangi-wangian untuk suaminya
(yang baru) dan berhias sesukanya.
Ibnu Hajar menyatakan: “Mayoritas ulama dari
para salaf dan imam fatwa di berbagai negeri berpendapat bahwa orang yang hamil
jika wafat suaminya menjadi halal (boleh menikah) dan selesai masa iddahnya
dengan melahirkan.
Masa berkabung ini dimulai dari hari kematian
suami, walaupun berita kematiannya terlambat ia dengar. Demikianlah pendapat
mayoritas para sahabat, para imam empat madzhab, Ishaq bin Rahuyah, Abu Ubaid
dan Abu Tsaur. Perhitungannya dengan menggunakan bulan Hijriyah. Sebagai
contoh, seorang wanita ditinggal mati suaminya pada lima hari sebelum bulan
Dzulhijjah, maka ia hitung sisa Dzulhijah tersebut dan melihat hilal Muharram,
Shafar, Rabi’ul awal dan Robi’uts tsani, bila telah genap empat bulan, maka ia
gabungkan sisa hari dalam bulan Dzulhijah yang telah dilewati sebelumnya dengan
menambahinya sampai genap sepuluh hari empat bulan. Setelah itu, ia boleh
berhias sebagaimana wanita lainnya.
E. Hal-Hal Yang Dilarang Dalam Ihdad
أُمُّ عَطِيَّةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُحِدَّ
الْمَرْأَةُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ
عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلاَ تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلاَّ
ثَوْبَ عَصْبٍ وَلاَ تَكْتَحِلُ وَلاَ تَمَسُّ طِيبًا إِلاَّ إِلَى أَدْنَى
طُهْرَتِهَا إِذَا طَهُرَتْ بِنُبْذَةٍ مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ. رواه النسائ.
Artinya:
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah ra. Bahwa
Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya wanita tidak boleh berkabung atas
kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka
berkabung empat bulan sepuluh hari. Wanita tersebut tidak boleh mengggunakan
pakaian berwarna melainkan hanya pakaian yang kasar (tidak memikat), tidak
boleh memakai celak mata, dan tidak boleh memakai wewangian, kecuali jika telah
habis masa iddahnya. (HR. An-Nasa’i)
Juga hadits Subai’ah ra. yang berbunyi,
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ
سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي
بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا
فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا
بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ
فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ
الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ
النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ
أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ
جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ
حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي. رواه
مسلم.
Artinya:
"Umar bin Abdillah bin Al-Arqam Az-Zuhri
menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya, bahwa
Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa ia (Subai’ah) adalah istri Sa’ad
bin Khaulah yang berasal dari Bani ‘Amir bin Lu’ai dan dia ini termasuk orang
yang ikut perang Badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan
Subai’ah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah suaminya wafat, ia
melahirkan. Ketika selesai nifasnya, maka Subai’ah berhias untuk dinikahi. Abu
Sanaabil bin Ba’kak seorang dari Bani Abduddar menemuinya sembari berkata:
“Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi
Allah! Kamu tidak boleh menikah sampai selesai empat bulan sepuluh hari.”
Subai’ah berkata: “Ketika ia bicara demikian kepadaku, maka aku memakai
pakaianku pada sore harinya, lalu aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal
tersebut. Kemudian Rasulullah memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal
dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan. (HR.
Muslim)
Melihat kedua hadits di atas bahwa wanita yang sedang menjalani masa
berkabung tidak boleh melakukan segala sesuatu yang diharamkan pada wanita yang
sedang menunggu masa iddah seperti berhias atau hal-hal lain yang dapat menarik
perhatian lelaki untuk menikahinya.
F. Hukum Berihdad
Hukum
ihdad bagi wanita menjadi wajib jika memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
1. Beragama Islam. Syarat ini juga telah
disepakati para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada wanita ahli kitab apakah
dikenakan kewajiban ini atau tidak? Pendapat yang rajih adalah pendapat
mayoritas ulama yang menyatakan hal itu diwajibkan atas wanita ahli kitab yang
menikah dengan muslim, lalu suaminya meninggal dunia.
2. Wanita tersebut berakal dan baligh. Para
ulama telah bersepakat bahwa wanita yang baligh dan berakal diwajibkan melewati
masa al hadaad. Namun mereka masih berselisih pendapat tentang wanita yang
belum memasuki masa baligh atau gila. Pendapat yang rajih adalah pendapat
mayoritas ulama yang mewajibkannya.
3. Menikah dengan akad yang shahih.
Ibnu Bathal berkata, “Dalam masalah berkabung
atas kematian kerabat syari’at memperbolehkan seorang wanita untuk berkabung
atas kematian selain suaminya baik kerabat ataupun bukan selama tiga hari,
karena kesedihan yang mendalam akibat kematian orang tersebut. Hal itu tidak
wajib menurut kesepakatan para ulama. Karena tidak ada dalil yang mengharamkan
dan masyru’ jika bisa kurang dari tiga hari. Namun seandainya suami mengajaknya
berhubungan intim (jima’) maka ia tidak boleh menolaknya.”[17]
Ibnu Hazm menyatakan: “Seandainya seorang
wanita berkabung selama tiga hari atas kematian bapak, saudara, anak, ibu atau
kerabat lainnya, maka hal itu mubah.”[18]
Ibnu Al Qayyim juga menyatakan: “Berkabung
atas kematian suami hukumnya wajib (jika memenuhi syarat di atas) dan atas
kematian selainnya boleh saja.”[19]
G. Hikmah Ihdad
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ
بٍرَدِّهِنَّ فِيْ ذَالِكَ إِنْ اَرَادُوْ اِصْلاَحًا.
Artinya: “Dan suami-suami
mereka peling berhak merujuki mereka dalam masa ‘iddah tersebut jika mereka
menghendaki ishlah.” (QS. Al-Baraqah: 228)
Berangkat dari ayat di atas,
bahwa hikmah dari syari’at ihdad adalah untuk menghormati hak suami dalam masa
‘iddah karena meninggalnya. Hingga tidak ada seorangpun yang berkeinginan untuk
menikahi si wanita dala masa ihdad.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Talak adalah melepaskan ikatan nikah dari suami
dengan mengucapkan lafaz tertentu, misalnya suami mengatakan kepada isterinya;
“saya thalak engkau”, dengan ucapan tersebut lepaslah ikatan pernikahan dan
terjadilah perceraian. Thalak menurut hukum asalnya adalah makruh, karena talak
merupakan perbuatan yang halal tetapi paling tidak disukai oleh Allah SWT.
Rujuk merupakan hak daripada seorang suami yang
ingin kembali kepda istri yang telah ditalaknya(talak raj’i), hukum rujuk pada
talak raj’i adalah sah yaitu tidak dengan persyaratan akad baru dengan
persyaratan seorang suami mengatakan kepada mantan istrinya “Saya ingin kembali
kepadamu” ataupun dapat dengan kata-kata yang lainnya , akan tetapi apabila si
istri telah ditalak tiga atau talak bain maka suami wajib melakukan akad nikah
ulang dan harus memenuhi persyaratannya yaitu adanya mahar, wali dan
persetujuan.Didalam Kompilasi Hukum Islam masalah rujuk juga banyak diatur di
dalam banyak pasal-pasalnya.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa rujuk itu
dipersamakan dengan perkawinan, dan bahwa Allah SWT telah memerintahkan untuk
diadakan penyaksian, sedangkan penyaksian tidak terdapat kecuali pada
kata-kata. Imam malik berpendapat bahwa suami tidak boleh berkhalawat
(bersepi-sepi) dengan istri yang ditalak, tidak boleh masuk ke kamarnya kecuali
dengan persetujuannya, dan tidak boleh melihat rambutnya.
Ihdad adalah kondisi wanita yang sedang menjalani
masa iddahnya Karena ditinggal mati oleh suaminya selama 4 bulan 10 hari,
dimana ia harus menjauhi apa saja yang mengarah kepada hubungan seksual
dengannya atau tidak mengenakan perhiasan apa saja yang menyebabkan laki-laki
lain yang dapat menyebabkan laki-laki lain tertarik melihatnya.
Banyak hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi wanita
yang dalam keadaan berihdad seperti: bercelak mata, berhias diri, memakai
farfum, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa, memakai pakaian yang
berwarna yang pada intinya menjauhi perkara yang dapat menarik perhatian kaum
lelaki kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar