Kamis, 23 Maret 2017

Talak, Rujuk dan Ihdad

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan islam. Pernikahan juga merupakan suatu dasar yang penting dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, idah, dan sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain dibolehkan apabila suami istri sudajh tidak dapat melakukan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, seingga tujuan rumah tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan penderitaan-penderitaan dan perpecajhan antara suami istri tersebut, maka dalam keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan bailk yang menimpa suami atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik vcerai biasa atau cerai mati (ditinggal mati), tidakl boleh langsung menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan ia harus menunggu untuk sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu bagi wanita yang bercerai itu disebut iddah. Diadakan masa iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah selama masa iddah itu wanita tersebut hamil atau tidak, dan jika ternyata hamil maka anak tersebut masih sebagai anak dari suami yang pertama. Selain itu, iddah dimaksudkan sebagai masa untuk ‘berpikir ulang’ bagi suami istri untuk menetukan kelanjutan hubungan mereka. Jika ternyata dalam masa iddah itu, suami istri menyesali perceraian mereka, mereka bisa rujuk atau kembali ke ikatan pernikahan mereka yang lama. Aturan-aturan tentang talak, iddah, dan rujuk telah diatur dengan lengkap dalam agama islam.



B.     Rumusan Masalah
1.      Jelaskan tentang Talak?
2.      Jelaskan tentang Rujuk?
3.      Jelaskan tentang Ihdad?



BAB II
TALAK

A.    Pengertian Talak
Kata “thalak” dalam bahasa Arab berasal dari kata thalaqa-yathalaqu-thalaqa yang bermakna melepas atau mengurai tali pengikat. Dalam hubungannya dengan pernikahan, thalaq berarti lepasnya ikatan pernikahan dengan ucapan thalaq atau lafal lain yang dimaksudkan sama dengan thalaq.
            Fiqih As-Sunnah memberikan definisi thalaq sebagai berikut:             
حُلُّ رَابِطَةٍ الزَّاوَاجِ وَاِنْهَاءُ الْعَلاَ قَةِ الزَّوْجِيَّةِ
“thalaq adalah melepaskan tali pernikahan dan mengakhiri hubungan suami istri”
Talak  adalah perceraian melepaskan ikatan nikah dari pihak suami dengan mengucapkan lafadz yang tertentu, misalnya suami berkata terhadap istrinya: “ Engkau telah ku talak” dengan ucapan ini ikatan nikah itu telah menjadi lepas, artinya suami istri telah menjadi bercerai. 
Yang dimaksud melepaskan tali pernikahan ialah memutuskan ikatan perkawinan yang dulu diikat oleh aqad (ijab qabul), sehingga status suami istri di antara mereka menjadin hilang. Termasuk hilangnya hak dan kewajiban sebagai suami istri. Thalaq adalah hak suami, artinya istri tidak bisa melepaskan diri dari ikatan pernikahan kalau tidak dijatuhkan oleh suami. Namun sekalipun suami diberi hak untuk menjatuhkan thalak, islam tidak membenarkan suami menggunakan haknya itu dengan sewenang-wenang dan gegabah, apalagi kalau hanya karena menuruti hawa nafsunya. 
          Rasulullah bersabda:
اَبْغَضُ الْحَـلاَلِ اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian” (HR Abu Daud dan Hakim)


B.     Hukum Talak
               
Berkata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan: “Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh, terkadang hukumnya mustahab (sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya haram. Hukumnys sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm 410)

1.      Makruh
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika suami menjatuhkan talak tanpa ada hajat (kebutuhan) yang menuntut terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan baik.

2.      Haram
Talak yang hukumnya haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu suami menjatuhkan talak dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan talak ketika istri sedang dalam keadaan haid
Kedua : Suami menjatuhkan talak kepada istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
3.      Mubah (boleh)
Talak yang hukumnya mubah yaitu ketika suami berhajat atau mempunyai alasan untuk menalak istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak sanggup bershabar kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.

 فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
 “Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’ : 19)


4.      Sunnah
Talak yang hukumnya sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta mencegah kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhaanahu wata’ala :

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

 “Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195)
5.      Wajib
Talak yang hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan menggauli istrinya,.) setelah masa penangguhannya selama empat bulan telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan talak tersebut. (Taudiihul Ahkam : 5/488, Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm. 410, Fiqih Muyyasar, hlm. 306)

C.    Macam-Macam Talak
Ditinjau dari segi waktunya talak menjadi tiga macam yaitu :
1.      Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi 4 (empat) syarat yaitu :
a.       isteri yang ditalak sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli maka bukan termasuk talak sunni.
b.      isteri dapat segera melakukan menunggu ‘iddah’ suci setelah ditalak yaitu dalam keadaan suci dari haid.
c.       talak itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid.
d.      suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci di mana talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika isteri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.

2.      Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntutan sunnah dan tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat talak sunni. Termasuk dalam talak bid’i adalah :
a.       talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid (menstruasi) baik dipermulaan haid maupun dipertengahannya.
b.      talak yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud. 
Ditinjau dari segi dan tegasnya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam yaitu:
1.      Talak Sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.
Beberapa contoh talak sharih adalah
·         engkau saya talak sekarang juga. Engkau saya cerai sekarang juga
·         engkau saya firaq sekarang juga. Engkau saya pisahkan sekarang juga
·         engkau saya sarah sekarang juga. Engkau saya lepas sekarang juga.

Apabila suami menjatuhkan talak terhadap isterinya dengan talak sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya sepanjang ucapan itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.

2.      Talak Kinayah yaitu talak dengan menggunakan kata-kata sindiran, samar-samar seperti contoh :
·         engkau sekarang telah jauh dariku
·         selesaikan sendiri segala urusanmu
·         janganlah engkau mendekati aku lagi
·         pulanglah ke rumah ibumu
·         saya sekarang telah sendiri dan hidup membujang

Ucapan-ucapan tersebut mengandung sebuah kemungkinan cerai dan mengandung kemungkinan lain. Tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin Al Husaini, tergantung kepada niatnya seseorang artinya jika suami dengan kata-kata tersebut berniat untuk menjatuhkan talak maka talak jatuh, akan tetapi jika tidak berniat untuk menjatuhkan talak, maka talak tidak jatuh.

Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas isteri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut :
·         Talak Raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari isteri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Setelah terjadi talak raj’I, maka isteri wajib ber iddah, hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada isteri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itru dapat dilakukan dengan jalan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut suami tidak menyatakan rujuknya, maka talak tersebut berubah menjadi talak bain dengan berakhir iddahnya.: kemudian jika sesudah berakhir iddahnya itu suami ingin kembali kepada bekas isterinya, maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula. Talak raj’i hanya terjadi dengan talak yang pertama dan kedua saja`
·         Talak Ba’in yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke dalam ikatan perkawinan harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Talak bain terbagi dua macam yaitu :
a.       Talak Bain Sughra yaitu talak bain yang menghilangkan kepemilikan bekas suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahkan kembali dengan bekas isterinya tersebut. Termasuk talak bain sughra adalah
·         talak sebelum berkumpul
·         talak dengan pergantian harta yang disebut khulu
·         talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena penganiayaan atau yang semacanya.
b.      Talak Bain Kubra yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas isteri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas isterinya, kecuali setelah bekas isteri itu kawin lagi dengan lelaki lain, telah berkumpul dengan suami kedua serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya. Talak bain kubra terjadi pada talak yang ketiga
Ditinjau dari sega cara suami menyampaikan talak terhadap isterinya ada 4 (empat) macam yaitu:
1.      Talak dengan ucapan yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan dihadapan isterinya dan isteri mendengar secara langsung ucapan tersebut.
2.      Talak dengan tulisan yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada isterinya, kemudian isteri membacanya dan memahami isi dan maksudnya. Talak yang dinyatakan secara tertulis dapat dipandang jatuh (sah), meski yang bersangkutan dapat mengucapkannnya, sebagaimana talak dengan ucapan ada talak sharih dan kinayah, maka talak dengan tulisan pun demikian pula.
3.      Talak dengan isyarat yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami  yang tuna wicara. Isyarat bagi suami yang tuna wicara dapat dipandang sebagai alat komunikasi untruk memberikan pengertian dan menyampaikan maksud dan isi hati. Oleh karena itu, isyarat baginya sama dengan ucapan bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan bermaksud talak atau mengakhiri perkawinan.
Sebagian fuqaha mensyaratkan bahwa untuk sahnya talak dengan isyarat bagi orang yang tuna wicara itu adalah buta huruf. Jika yang bersangkutan mengenal tulisan dan dapat menulis, maka talak baginya tidak cukup dengan isyarat, karena tulisan itu lebih dapat menunjuk maksud ketimbang isyarat, dan tidak beralih dari tulisan ke isyarat, karena kecuali darurat yakni tidak dapat menulis.
4.      Talak dengan utusan yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada isteri melalui perantaraan orang lain sebagai utusan untuk meyampaikan maksud suami itu kepada isterinya yang tidak berada di hadapan suami bahwa suami mentalak isterinya. Dalam hal ini utusan sebagai wakil dari suami tersebut.

D.    RUKUN DAN SYARAT TALAK
Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan kelengkapannya unsur-unsur tersebut. Adapun rukun talak ada 4 (empat) yaitu:
1.      Suami. Suami adalah yang memilki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya. Selain suami tidak berhak menjatuhkannya, oleh karena itu talak bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah
Untuk sahnya talak suami memiliKi 3 (tiga) syarat yaitu :
a.       berakal,. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini adalah hilang ingatan atau rusak akal karena sakit, pitam, hilang akal karena sakit panas, sakit ingatan karena rusak akal sarafnya.
b.      baligh. Harus sudah dewasa
c.       atas kemauan sendiri. Yang dimaksud ialah adanya kehendak pada diri sendiri untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri bukan paksaan dari orang lain. Kehendak dan kerelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan pertanggung jawaban. Oleh karena itu orang yang dipaksa melakukan sesuatu (dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya
2.      Isteri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isterinya sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang diucapkan terhadap isteri orang lain.
Untuk sahnya talak, isteri memiliki syarat sebagai berikut :
a.       isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan suami. Isteri yang menjalani masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam hal ini masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak bain, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas isterinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak bain itu bekas isteri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami.
b.      kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. Jika ia menjadi isteri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya atau akad nikah dengan perempuan saudara isterinya (memadu antar dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami pernah menggauli ibu anak tirinya dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian dipandang tidak ada.
c.       sighat talak. Ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami  terhadap isterinya yang menunjukan talak, baik itu sharih maupun kinayah, baik berupa ucapan maupun tulisan, isyarat bagi suami yang tuna wicara atau pun dengan suruhan dia. Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap isteri menunjukan kemarahannya, semisal suami memarahi isteri, memukulnya, mengantarnya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya tanpa disertai penyertaan talak, maka yang demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan, tidak diucapkan tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang talak tetapi tidak ditujukan terhadap isterinya maka itupun bukan talak.
d.      qashdu (sengaja) artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan maksud lain. Oleh karena itu salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan buah salak kepada isterinya. Ia mengucapkan kepada isterinya “ini buah talak untuk mu” maka ucapan tersebut tidak menjatuhkan talak.


BAB III
RUJUK

A.    Pengertian  Rujuk
Rujuk artinya kembali. Menurut syara' adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah talak raj'i.

....وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا.....
Artinya:
"Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah."(Q.S. Al-Baqarah:228)
Bila seseorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan dianjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat bila keduanya betul-betul hendak kembali (islah). Dengan arti bahwa mereka benar-benar sama-sama saling mengerti dan penuh rasa tanggung jawab antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, bila suami mempergunakan kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat islah, bahkan sebaliknya untuk mengniaya tanpa memberi nafkah, atau semata-mata untuk menahan istri agar jangan menikah dengan orang lain, dan sebagainya. Maka suami tidak berhak untuk merujuk istrinya itu, malah haram hukumnya.

B.     Macam-Macam Rujuk
Mengenai macamnya rujuk, hanya dapat dilakukan dalam talak yang raj'i selama istri masih dalam masa iddah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُمَا لَمَّاسَأَلَهُ سَائِلٌ قَالَ: اَمَا اَنْتَ طَلَقْتَ اِمْرَاَتَكَ مَرَّةً اَوْمَرَّتَيْنِ فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ اَمَرَنِى اَنْ اُرَجِعُهَا                                                     (رواه مسلم)


Artinya:
Dari Ibnu Umar r.a waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata,"Adapun engkau yang telah mencerikan istri baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW. telah menyuruhku merujuk istriku kembali."(HR.Muslim)

Firman Allah SWT:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ....
Artinya:
"Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula."(Q.S. Al-Baqarah:231)

C.    Syarat dan Rukun Rujuk
Syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1.      Isrti, dengan syarat:
a.       Sudah digauli oleh suaminya. Jika belum digauli kemudian dithalak, maka jatuh thalaq ba’in shughra, maka tidak boleh dirujuk oleh mantan suaminya.
b.      Thalak yang dijatuhkan adalah thalak raj’i.
c.       Masih dalam masa iddah

2.      Suami, dengan syarat:
a.       Baligh
b.      Sehat akalnya
c.       Atas kemauan sendiri

3.      Shighat (ucapan) rujuk
shighat ada dua macam, yaitu:
a.       Dengan cara terang-terangan, misalnya, “Saya kembali kepada istri saya” atau “Saya rujuk kepadamu”.
b.      Dengan sindiran, misalnya, “saya pegang engkau” atau “saya ingin engkau”. Akan tetapi rujuk dengan kata-kata kiasan harus dibarengi dengan niat merujuk sebab kalau tidak maka rujuknya tidak sah.
Rukun rujuk antara lain:
a.       Ada suami yang merujuk atau wakilnya
b.      Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya
c.       Kedua belah pihak (suami dan istri) sama-sama suka
d.      Dengan pernyataan ijab qobul, seperti mengucapkan kata-kata rujuk misalnya:"aku rujuk engkau pada hari ini". Atau: "telah ku rujuk istriku yang bernama:……..pada hari ini".dan sebagainya.

D.    Hikmah Rujuk
Setiap perbuatan seseorang pasti mengandung hikmah dan manfaat yang besar bagi manusia. Disyariatkannya rujuk terhadap suami yang hendak kembali kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah, antara lain sebagai berikut:
1.      Sebagai sarana untuk mempertimbangkan kembali perceraian yang telah dilakukan, apakah perceraian tersebut disebabkan oleh emosi, hawa nafsu atau semata-mata karena kemaslahatannya.
2.      Sebagai sarana untuk mempertanggujawabkan anak-anak mereka secara bersama-sama, baik dalam pemeliharaan, nafkah dan lain-lain.
3.      Sebagai sarana untuk menjamin kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehinggapasangan tersebut bisa lebih hati-hati, saling menghargai dan menghormati, yang pada akhirnya akan menciptakan pasangan yang serasi dan harmonis.
4.      Rujuk berarti juga islah, yaitu perbaikan hubugan diantara dua manusia atau lebih, sehingga akan timbul kebaikan dan rasa saling menyanyangi yang lebih besar.
5.      Rujuk akan menghindari perpecahan hubungan kekerabatan di antara keluarga suami atau istri.
6.      Rujuk dapat menghindari perbuatan dosa dan maksiat, baik yang mungkin dilakukan oleh mantan suami maupun mantan istri.




Iddah
A.    Pengertian dan Hukum Iddah
Iddah berasal dari kata adad, artinya menghitung. Maksudnya adalah perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.
Dalam istilah agama, iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah bercerai dari suaminya.
Jadi, iddah artinya satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai mati atau cerai hidup, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Allah berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tiga kali Quru')…"(Q.S. Al-Baqarah:228)
B.     Macam-macam Iddah
Menurut sebab musababnya, iddah itu terbagi atas beberapa macam, yaitu:
1.      Talak
Artinya iddah yang terjadi karena perceraian. Perempuan yang berada dalam iddah talak, yaitu:
a.       Perempuan yang telah dicampuri dan ia belum putus dalam haid.
Iddahnya ialah tiga kali suci dan dinamakan juga tiga kali quru'. Firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِر
Artinya:
"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tiga kali Quru'). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".(Q.S. Al-Baqarah:228)
b.      Perempuan yang di campuri dan tidak berhaid, baik ia perempuan yang belum baligh maupun perempuan tua yang tidak haid.
Perempuan yang tidak berhaid sama sekali sebelumnya, atau kemudian terputus haidnya, maka iddahnya adalah tiga bulan. Firman Allah SWT:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid".(At-Thalak:4)
c.       Perempuan yang tertalak dan belum disetubuhi
Bagi perempuan seperti ini, tidak ada iddah baginya. Firman Allah SWT:
                        يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا....
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya."(Q.S. Al-Ahzab:49).
Dari uraian diatas, maka dapaat disimpulkan bahwa hak suami selama istri yang ditalak dalam masa iddah, maka ia boleh merujuknya kembali, kecuali kepada mantan istrinya yang ditalak ba'in sebab apabila suami hendak kembali kepada mereka harus dengan akad nikah baru. Khusus dalam talak tiga, apabila mantan suami hendak merujuk kembali, maka mantan istri harus sudah menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai serta sudah bercampur dengan suami kedua. Sedang dalam talak li'an, suami sama sekali tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali.Adapun kewajiban kepada mantan istri yang ditalak, maka selama dalam masa iddah, ia wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal sesuai dengan jenis talaknya.
2.      Iddah Hamil
Artinya iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil. Iddah mereka adalah sampai melahirkan anak.
Firman Allah SWT:
...وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikannya baginya kemudahan dalam urusannya."
Perceraian ini terjadi baik cerai hidup ataupun cerai mati. Dalam sebuah hadits Nabi SAW. Disebutkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ المِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ: أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ، فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ، «فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ (رواه البخارى)
Artinya:
"Dari Miswar bin Mukhazamah r.a bahwa Subai'ah Al-Aslamiyah, pernah melahirkan anak sesudah suaminya meninggal dalam beberapa malam berselang. Kemudian ia datang kepada Nabi SAW. minta izin untuk menikah, lalu diizinkan oleh Rasulullah SAW. maka iapun menikah."(HR. Bukhari).
Kalau hamil dengan anak kembar, maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua. Sedangkan perempuan yang keguguran, maka iddahnya ialah sesudah melahirkan pula. Ayat itu menunjukkan bahwa iddah mati, sempurna badannya atau cacat, ruhnya ditiupkan atau belum.

3.      Iddah Wafat
Yaitu iddah terjadi apabila seorang perempuan ditinggal mati oleh suaminya. Dan iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا......
Artinya:
"Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)empat bulan sepuluh hari."(Q.S. Al-Baqarah:234).
Apabila perempuan ditalak raj'I oleh suaminya, kemudian suaminya meninggal selama ia masih masa iddah, maka perempuan itu iddahnya seperti perempuan yang ditinggal mati suaminya. Karena ketika ia ditinggal mati suaminya, pada hakikatnya ia masih sebagai istrinya.Kecuali kalau ditinggal mati sedang dalam keadaan mengandung, maka iddahnya memilih yang terpanjang dair kematian suaminya, atau malahirkan. Demikian pendapat yang mashur.
4.      Iddah wanita yang kehilangan suami
Bila ada seorang yang kehilangan suaminya, dan tidak diketahui dimana suaminya itu berada,apakah ia telah mati atau masih hidup,maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya.sesudah itu hendaklah ia beriddah pula empat bulan sepuluh hari.
عَنْ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:اَيُّمَاامْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَالَمْ نَدْرٍاَيْنَ هُوَفَاِنَّهَاتَنْتَظِرُاَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعِشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ (رواه مالك)
Artinya:
"Dari Umar r.a. berkata: "bagi perempuan yang kehilangan suaminya, dan ia tidak mengetahui dimana suaminya berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah."(HR.Malik).
Kalau suami itu hilang dalam pertempuran dan belum diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka wajiblah bagi istri menunggu setahun. Dalam sebuah hadits Nabi SAW, disebutkan:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:اِذَافُقِدَ فِى الصَّفِّ فِى الْقِتَال تَتَرَبَّصُ اِمْرَاَتُهُ سَنَةً(رواه البخارى)
Artinya:
Dari Said bin Mussayyah r.a. berkata, "apabila seseorang hilang dalam barisan pertempuran,hendaknyalah istrinya menunggu setahun lamanya."(HR. Bukhari).
Kalau suaminya hilang dalam tawanan dan tidak diketahui tempatnya, maka ia di hukumi sebagai suami yang hilang tidak menentu tempatnya.

Hadits Nabi SAW:
قَالَ اَلزُّهْرِى فِى الاَسِيْرِ يُعْلَمْ مَكَانُهُ: لاَتَتَزَوَّجُ اِمْرَأَتُهُ وَلاَيُقْسَمُ مَالُهُ فَاِذَانْقَطَعَ خَبَرُهُ فَسُنَّتُهُ سُنَّةُالْمَفْقُوْدِ(رواه البخارى)

Artinya:
Berkata zuhri dala perkara tawanan yang diketahui tempatnya: "istrinya itu tidak boleh menikah, dan hartanya itu belum boleh dibagi-bagi, bila telah putus kabar beritanya, maka aturannya adalah aturan suami yang hilang."(HR.Bukhari)
Sebelum iddah itu sampai, hukumnya haram bagi perempuan itu menikah. Allah SWT berfirman:
.......وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya:
"Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis masa iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya…"(Al-Baqarah:235)
5.      Iddah perempuan yang di Ila'
Jumhur fuqaha mengatakan bahwa ia harus menjalani iddah. Sebaliknya, Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali selama masa empat bulan. Pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas r.a. dengan alasan bahwa diadakannya iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim.Jumhur fuqaha beralasan bahwa istri yang di Ila' adalah istri yang dicerai juga, maka ia harus beriddah seperti perempuan yang dicerai.




C.     Hikmah Iddah
Adapun hikmah adanya iddah adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.
b.      Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
c.       Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo berfikir panjang.
d.      Kebaikan perkawinan tidak terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
e.       Iddah adalah masa berfikir kembali lagi atau berpisah
f.       Waktu iddah baik bagi pihak ketiga untuk usaha merujuk kembali
g.      Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan akan tetap berpisah
h.      Masa pealihan untuk menentukan hidup baru
i.        Sebagai waktu berkabung bila suaminya meninggal dunia
j.        Masa untuk menentukan kosong tidaknya istri dari suami.



BAB 1V
IHDAD

A.    Pengertian Ihdad
Ahlul lughah berpendapat bahwa ihdad adalah al-man’u. Sedangkan al-hidadu secara bahasa artinya hal tidak berpakian baik (berhias) karena kematian suami, atau perkabungan.Ibnu Darsutawaih mendefinisikan makna ihdad dengan tidak mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya.

B.     Dasar Hukum Ihdad
Dalil Al-Qur’an
·         QS. Al-Baqarah: 234,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ.
Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat" (QS. Al-Baqarah: 234(.
Dalil As-Sunnah
·         Hadits dari Ummu ‘Athiyyah ra.,
أُمُّ عَطِيَّةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُحِدَّ الْمَرْأَةُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلاَ تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ وَلاَ تَكْتَحِلُ وَلاَ تَمَسُّ طِيبًا إِلاَّ إِلَى أَدْنَى طُهْرَتِهَا إِذَا طَهُرَتْ بِنُبْذَةٍ مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ. رواه النسائ.
Artinya: diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya wanita tidak boleh berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka berkabung empat bulan sepuluh hari. Wanita tersebut tidak boleh mengggunakan pakaian berwarna melainkan hanya pakaian yang kasar (tidak memikat), tidak boleh memakai celak mata, dan tidak boleh memakai wewangian, kecuali jika telah habis masa iddahnya.” (HR. An-Nasa’i)
Hadits dari Zainab bintu Abu Salamah ra.,
سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ تَقُولُ جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدْ اشْتَكَتْ عَيْنَهَا أَفَتَكْحُلُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ. رواه مسلم.
Artinya: "Aku telah mendengar Ummu Salamah berkata: “Seorang wanita datang menemui Rasulullah dan berkata,’Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya putriku ditinggal mati suaminya, dan ia mengeluhkan sakit pada matanya. Apakah ia boleh mengenakan celak mata?’.” Lalu Rasulullah menjawab “Tidak!” sebanyak dua atau tiga kali, semuanya dengan kata tidak. Kemudian Rasulullah berkata: “Itu harus empat bulan sepuluh hari, dan dahulu, salah seorang dari kalian pada zaman jahiliyah membuang kotoran binatang pada akhir tahun.”(HR. Muslim)
Hadits dari Ummu Habibah ra.,
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا. رواه مسلم.
Artinya: "Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya. (HR. Muslim)

C.    Pembagian Ihdad
Ihdad ditinjau dari sudut syar’i dibagi menjadi dua:
a.       Ihdad wanita yang ditinggal mati suaminya selama empat bulan sepuluh hari.
b.      Ihdad wanita yang ditinggal mati selain suaminya selama tiga hari.
Pembagian ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW.,
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا. رواه مسلم.
Artinya: "Tidak boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya.(HR. Muslim)
Dan dalam riwayat Bukhari terdapat tambahan lafadz:
فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا.
Artinya: "Maka ia berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari."

D.    Waktu Berkabung Dan Cara Menghitung Harinya
Masa berkabung bagi wanita adalah empat bulan sepuluh hari. Ini berlaku pada semua wanita, kecuali yang hamil. Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, masa berkabungnya sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَأُولاَتُ الأَحْمَالِ اَجَلَهُنَّ اَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّهُ مِنْ اَمْرِهِ يُسْرًا.
Artinya: "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. Ath-Thalaq: 4)
Juga hadits Subai’ah ra. yang berbunyi,
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي. رواه مسلم.
Artinya: 
"Umar bin Abdillah bin Al-Arqam Az-Zuhri menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya, bahwa Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa ia (Subai’ah) adalah istri Sa’ad bin Khaulah yang berasal dari Bani ‘Amir bin Lu’ai dan dia ini termasuk orang yang ikut perang Badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan Subai’ah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah suaminya wafat, ia melahirkan. Ketika selesai nifasnya, maka Subai’ah berhias untuk dinikahi. Abu Sanaabil bin Ba’kak seorang dari Bani Abduddar menemuinya sembari berkata: “Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi Allah! Kamu tidak boleh menikah sampai selesai empat bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata: “Ketika ia bicara demikian kepadaku, maka aku memakai pakaianku pada sore harinya, lalu aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal tersebut. Kemudian Rasulullah memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu Imam Ibnu Al-Qayyim menyatakan: “Adapun orang yang hamil, jika telah melahirkan, maka gugurlah kewajiban berkabungnya tersebut menurut kesepakatan mereka (para ulama), sehingga ia boleh menikah, berhias dan memakai wangi-wangian untuk suaminya (yang baru) dan berhias sesukanya.
Ibnu Hajar menyatakan: “Mayoritas ulama dari para salaf dan imam fatwa di berbagai negeri berpendapat bahwa orang yang hamil jika wafat suaminya menjadi halal (boleh menikah) dan selesai masa iddahnya dengan melahirkan.
Masa berkabung ini dimulai dari hari kematian suami, walaupun berita kematiannya terlambat ia dengar. Demikianlah pendapat mayoritas para sahabat, para imam empat madzhab, Ishaq bin Rahuyah, Abu Ubaid dan Abu Tsaur. Perhitungannya dengan menggunakan bulan Hijriyah. Sebagai contoh, seorang wanita ditinggal mati suaminya pada lima hari sebelum bulan Dzulhijjah, maka ia hitung sisa Dzulhijah tersebut dan melihat hilal Muharram, Shafar, Rabi’ul awal dan Robi’uts tsani, bila telah genap empat bulan, maka ia gabungkan sisa hari dalam bulan Dzulhijah yang telah dilewati sebelumnya dengan menambahinya sampai genap sepuluh hari empat bulan. Setelah itu, ia boleh berhias sebagaimana wanita lainnya.


E.     Hal-Hal Yang Dilarang Dalam Ihdad
أُمُّ عَطِيَّةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُحِدَّ الْمَرْأَةُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلاَ تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ وَلاَ تَكْتَحِلُ وَلاَ تَمَسُّ طِيبًا إِلاَّ إِلَى أَدْنَى طُهْرَتِهَا إِذَا طَهُرَتْ بِنُبْذَةٍ مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ. رواه النسائ.
Artinya: 
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya wanita tidak boleh berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka berkabung empat bulan sepuluh hari. Wanita tersebut tidak boleh mengggunakan pakaian berwarna melainkan hanya pakaian yang kasar (tidak memikat), tidak boleh memakai celak mata, dan tidak boleh memakai wewangian, kecuali jika telah habis masa iddahnya. (HR. An-Nasa’i)

Juga hadits Subai’ah ra. yang berbunyi,
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ وَهُوَ فِي بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً لَعَلَّكِ تَرْجِينَ النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى تَمُرَّ عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ لِي ذَلِكَ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ بَدَا لِي. رواه مسلم.
Artinya: 
"Umar bin Abdillah bin Al-Arqam Az-Zuhri menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya, bahwa Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa ia (Subai’ah) adalah istri Sa’ad bin Khaulah yang berasal dari Bani ‘Amir bin Lu’ai dan dia ini termasuk orang yang ikut perang Badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’ sedangkan Subai’ah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah suaminya wafat, ia melahirkan. Ketika selesai nifasnya, maka Subai’ah berhias untuk dinikahi. Abu Sanaabil bin Ba’kak seorang dari Bani Abduddar menemuinya sembari berkata: “Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi Allah! Kamu tidak boleh menikah sampai selesai empat bulan sepuluh hari.” Subai’ah berkata: “Ketika ia bicara demikian kepadaku, maka aku memakai pakaianku pada sore harinya, lalu aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal tersebut. Kemudian Rasulullah memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan. (HR. Muslim)
Melihat kedua hadits di atas bahwa wanita yang sedang menjalani masa berkabung tidak boleh melakukan segala sesuatu yang diharamkan pada wanita yang sedang menunggu masa iddah seperti berhias atau hal-hal lain yang dapat menarik perhatian lelaki untuk menikahinya.
F.     Hukum Berihdad
Hukum ihdad bagi wanita menjadi wajib jika memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
1.      Beragama Islam. Syarat ini juga telah disepakati para ulama. Perbedaan pendapat terjadi pada wanita ahli kitab apakah dikenakan kewajiban ini atau tidak? Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan hal itu diwajibkan atas wanita ahli kitab yang menikah dengan muslim, lalu suaminya meninggal dunia.
2.      Wanita tersebut berakal dan baligh. Para ulama telah bersepakat bahwa wanita yang baligh dan berakal diwajibkan melewati masa al hadaad. Namun mereka masih berselisih pendapat tentang wanita yang belum memasuki masa baligh atau gila. Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama yang mewajibkannya.
3.      Menikah dengan akad yang shahih.
Ibnu Bathal berkata, “Dalam masalah berkabung atas kematian kerabat syari’at memperbolehkan seorang wanita untuk berkabung atas kematian selain suaminya baik kerabat ataupun bukan selama tiga hari, karena kesedihan yang mendalam akibat kematian orang tersebut. Hal itu tidak wajib menurut kesepakatan para ulama. Karena tidak ada dalil yang mengharamkan dan masyru’ jika bisa kurang dari tiga hari. Namun seandainya suami mengajaknya berhubungan intim (jima’) maka ia tidak boleh menolaknya.”[17]
Ibnu Hazm menyatakan: “Seandainya seorang wanita berkabung selama tiga hari atas kematian bapak, saudara, anak, ibu atau kerabat lainnya, maka hal itu mubah.”[18]
Ibnu Al Qayyim juga menyatakan: “Berkabung atas kematian suami hukumnya wajib (jika memenuhi syarat di atas) dan atas kematian selainnya boleh saja.”[19]


G.    Hikmah Ihdad
Allah  Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بٍرَدِّهِنَّ فِيْ ذَالِكَ إِنْ اَرَادُوْ اِصْلاَحًا.
Artinya: “Dan suami-suami mereka peling berhak merujuki mereka dalam masa ‘iddah tersebut jika mereka menghendaki ishlah.” (QS. Al-Baraqah: 228)
Berangkat dari ayat di atas, bahwa hikmah dari syari’at ihdad adalah untuk menghormati hak suami dalam masa ‘iddah karena meninggalnya. Hingga tidak ada seorangpun yang berkeinginan untuk menikahi si wanita dala masa ihdad.



BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Talak adalah melepaskan ikatan nikah dari suami dengan mengucapkan lafaz tertentu, misalnya suami mengatakan kepada isterinya; “saya thalak engkau”, dengan ucapan tersebut lepaslah ikatan pernikahan dan terjadilah perceraian. Thalak menurut hukum asalnya adalah makruh, karena talak merupakan perbuatan yang halal tetapi paling tidak disukai oleh Allah SWT.
Rujuk merupakan hak daripada seorang suami yang ingin kembali kepda istri yang telah ditalaknya(talak raj’i), hukum rujuk pada talak raj’i adalah sah yaitu tidak dengan persyaratan akad baru dengan persyaratan seorang suami mengatakan kepada mantan istrinya “Saya ingin kembali kepadamu” ataupun dapat dengan kata-kata yang lainnya , akan tetapi apabila si istri telah ditalak tiga atau talak bain maka suami wajib melakukan akad nikah ulang dan harus memenuhi persyaratannya yaitu adanya mahar, wali dan persetujuan.Didalam Kompilasi Hukum Islam masalah rujuk juga banyak diatur di dalam banyak pasal-pasalnya.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa rujuk itu dipersamakan dengan perkawinan, dan bahwa Allah SWT telah memerintahkan untuk diadakan penyaksian, sedangkan penyaksian tidak terdapat kecuali pada kata-kata. Imam malik berpendapat bahwa suami tidak boleh berkhalawat (bersepi-sepi) dengan istri yang ditalak, tidak boleh masuk ke kamarnya kecuali dengan persetujuannya, dan tidak boleh melihat rambutnya.
Ihdad adalah kondisi wanita yang sedang menjalani masa iddahnya Karena ditinggal mati oleh suaminya selama 4 bulan 10 hari, dimana ia harus menjauhi apa saja yang mengarah kepada hubungan seksual dengannya atau tidak mengenakan perhiasan apa saja yang menyebabkan laki-laki lain yang dapat menyebabkan laki-laki lain tertarik melihatnya.
Banyak hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi wanita yang dalam keadaan berihdad seperti: bercelak mata, berhias diri, memakai farfum, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa, memakai pakaian yang berwarna yang pada intinya menjauhi perkara yang dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.



DAFTAR PUSTAKA










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kriminologi, Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang             Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kri...