BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penyelenggaraan
pemerintahan negara Indonesia meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintahan pusat di jalankan oleh presiden, seperti yang di atur dalam pasal
4 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi ”Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”. Dalam
menjalankan pemerintahan, presiden di Bantu oleh wakil presiden,
menteri-menteri, dan kepala lembaga pemerintahan nondepartemen. Kesemua
tingkatan tersebut kemudian di sebut pemerintah pusat atau pemerintah.
Amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan elemen dasar dalam penyelenggaraan
pemerintahan di suatu daerah, selain elemen urusan pemerintahan dan kapasitas
aparatur pemerintah daerah itu sendiri.
Pengaturan
terhadap kelembagaan atau sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah
(OPD), telah diatur dan ditetapkan berdasarkan PP No. 84 Tahun 2000, yang
diganti dengan PP No. 8 Tahun 2003, dan kemudian direvisi menjadi PP No. 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP No. 41 Tahun 2007
tersebut, disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan perundangan ini diharapkan
dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan. Akhir tahun 2008 merupakan
batas waktu bagi pemerintah daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah mengenai
Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi Otonomi Daerah?
2. Apa
saja asas – asas Otomomi Daerah?
3. Bagaimana
penerapan dari asas – asas Otonomi
Daerah tersebut?
C.
Tujuan
1. Untuk
Mengetahui pengertian otonomi daerah
2. Untuk
Mengetahui asas-asas otonomi daerah
3. Untuk
Mengetahui penerapan dari asas-asas otonomi daerah
BAB
II
ASAS
– ASAS OTONOMI DAERAH
A.
Definisi
Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan daerah otonom adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pemerintah daerah dengan otonomi
adalah proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi.
Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang
bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi
pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efisiensi dan efektifitas dalam
pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan yang di capai dalam
penyerahan urusan ini adalah antara lain: menumbuh kembangkan
daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan masyarakat, menumbuhkan
kemandirian daerah, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses
pertumbugan.
Sejalan dengan penyerahan urusan,
apabila urusan tersebut akan menjadi beban daerah, maka akan dilaksanakan
melalui asas medebewind atau asas pembantuan. Proses dari sentralisasi ke
desentralisasi ini pasa dasarnya tidak semata-mata desentralisasi
administratif, tetapi juga bidang politik dan sosial budaya.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999, terdapat tiga pola otonom, yaitu provinsi, kabupaten, dan kota. Di
samping sebagai daerah otonom, provinsi ditetapkan sebagai daerah administratif
dalam rangka desentralisasi. Oleh karena itu, gubernur memiliki peranan ganda,
disisi lain sebagai kepala daerah dan disisi satu lagi sebagai wakil
pemerintah. Semua provinsi daerah tingkat I dan kabupaten/kotamadya daerah
tingkat II yang telah ada sebelum Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999
dikonversikan menjadi provinsi, kabupaten, dan kota. Pembentukan daerah otonom
yang baru pada hakikatnya sebagai pemekaran daerah otonom yang perlu memenuhi
pasal 5,6, dan penjelasan pasal 115.
Dalam daerah otonom terdapat
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur
(elemen) batas wilayah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu wilayah
sangan menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam
melakukan interaksi hukum. Disisi lain, batas wilayah ini sangat penting
apabila ada sengketa hukum yang menyangkut wilayah perbatsan antardaerah.
2. Unsur
(elemen) pemerintahan. Eksistensi pemerintahan didaerah didasarkan atas
legitimasi undang-undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintahan daerah
untuk menjalankan urusan pemerintahan yang berwenang mengatur berdasarkan
kreativitasnya sendiri.
3. Unsur
masyarakat. Masyarakat sebagai elemen pemerintahan daerah merupakan kesatuan
masyarakat hukum, baik gemeinschaft maupun gesselschaft jelas mempunyai
tradisi, kebiasaan, dan adat istiadat yang tururt mewarnai sistem pemerintahan
daerah, mulai dari bentuk cara berpikir, bertindak, dan kebiasaan tertentu
dalam kehidupan masyarakat.
Konsep pemikiran tentang otonomi
daerah mengandung pemaknaan terhadap eksistensi otonomi tersebut terhadap
penyelenggaran pemerintahan daerah.
Pemikiran
pertama, bahwa prinsip otonomi daerah dengan
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. Arti seluas-luasnya ini mengandung
makna bahwa daerah diberikan kewenangan membuat kebijakan daerah, untuk memberi
layanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemikiran
kedua, bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah
suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada, serta
berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan
kekhasan daerah.[1]
B.
Asas
– asas Otonomi Daerah
Salah satu asas penyelenggaraan
pemerintahan di daerah yang dianut oleh undang-undang No. 5 Tahun 1974 adalah
bahwa asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekosentralisasi dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas
pembantuan. Dengan perkataan lain, Undang-Undang No.5 Tahun1974 menganut tiga
asas dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu desentralisasi,
dekosentrasi, dan tugas pembantuan.
1.
Asas
Desentralisasi
Pengertian desentralisasi dalam
Undang-Undang No.5 Tahun1974 adalah sederhana dan jelas, yaitu sebagai
tercantum dalam pasal 1 huruf b yang menyatakan, bahwa “desentralisasi” adalah
penyerahan urusan pemerintahan pusat atau daerah tingkat atasnya kepada daerah
menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Pengertian desentralisasi yang
secara otentik tercantum dalam pasal 1 huruf b tersebut, lebih di perjelas lagi
dalam penjelasan umum sebagai berikut:
“urusan-urusan pemerintahan yang
telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi
pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawan daerah sepenuhnya. Dalam hal
ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada daerah, baik yang menyangkut
penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut
segi-segi pembiayaan. Demikian pula perangkat pelaksanaannya adalah perangkat
daerah itu sendiri, yaitu terutama dinas-dinas daerah”
Urusan semula diserahkan dengan
peraturan pemerintah penarikkannya kembali harus dilakukan dengan peraturan
pemerintah dan urusan-urusan yang semula diserahkan dengan Undang-undang (pada
saat pembentukan daerah bersangkutan) penarikkannya harus dilakukan dengan
undang-undang.
Kelebihan
dari Asas Desentralisasi
1)
Struktur organisasi yang didesentralisasib bebobot pendelegasian wewenang yangmemperingan beban menejemen teratas.
2)
Lebih berkembang generalis daripada spesialis dan dengan demikian membuka kedudukanuntuk
menejer umum.
3)
Hubungan dan kaitan yang akrab dapat ditingkatkan yang mengakibatkan gairah kerja dan koordinasi yang baik
4)
Kebiasaan dengan
aspek kerja yang khusus dan penting siap
untuk dipergunakan.
5)
Efisiensi dapat ditingkatkan sepanjag struktur dapat diandang sebagai suatu kebulatandemikian
rupa sehingga kesuliatan dapat dilokalisasi dan dapat dipecahkan dengan mudah.
6)
Bagi perusahaan
yang besar dan tersebar diberbagi tempat, dapat diperoleh manfaat sebesar – besarnya dari keadaaa tempat masing-masing.
7)
Rencana dapat dicoba dalam tahap eperimen pada suatu perusahaan, dapat diubah dan dibuktikan sebelum diterapkan pada
bagian lain yang sejenis dari bagian usahanya yang sama.
8)
Resiko yang mencakup kerugian, kepegawaian,
fasilitas dan perusahaan dapat terbagi.
2.
Asas
Dekosentrasi
Pengertian dekosentasi tercantum
dalam pasal 1 ayat f, yaitu “pelimpahan dari pemerintah atau kepala wilayah
atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di
daerah”. Jadi uruan-urusan yang diselenggarakan menurut asas dekosentrasi ini
tetap merupakan unsur pemerintah pusat dan pelaksana atau penyelenggaraannya
adalah pejabat atau perangkat pemerintah pusat.
Mengenasi asas dekosentrasi ini
dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan umum Undang-undang No.5 Tahun 1974
sebagai berikut:
“oleh karena tidak semua urusan
pemerintah dapat diserahkan kepada daerah menurut asas dekosentrasi, maka
penyelenggaraan sebagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh
perangkat pemerintah di daerah berdasarkan asas dekosentrasi. Urusan-urusan
yang dilimpahkan pemerintah pada pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekosentrasi
ini tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat baik mengenai perencanaan,
pelaksanaan maupunpembiayaan. Unsur pelaksanaannya adalah terutama
instansi-instansi vertikal, yang dikordinasikan oleh kepala daerah dalam
kedudukannya selaku perangkat pemerintah pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap
pelaksanaan urusan dekosentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah
pusat”.
Ciri
– ciri dari asas ini adalah sebagai berikut:
a)
Bentuk pemencaran adalah pelimpahan
b)
Pemencaran
terjadi kepada pejabat sendiri (perseorangan)
c)
Yang dipencar
(bukan urusan pemerintah) tetapi wewenang untuk melaksanakan
sesuatu.
d)
Yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.
3.
Asas
Tugas Pembantuan (medebewind)
Apa
yang dimaksud dengan tugas pembantuan telah tercantum pengertiannya dalam pasal
1 huruf d sebagai berikut:
Tugas
pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan
yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah
tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
Asas
tugas pembantuan ini mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan.
Apabila asas ini dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya, maka tidak perlu
dibentuk terlalu banyak perangkat-perangkat pemerintah pusat di daerah, karena
banyak tugas-tugas pemerintah pusat yang pelaksanaannya dapat dibebankan kepada
pemerintah di daerah menurut asas tugas pembantuan. [2]
C.
Penerapan
dari Asas – asas Otonomi Daerah
1.
Penerapan
asas desentralisasi
Penerapan
desentralisasi dalam otonomi daerah di Indonesia ingin menjawab beberapa
tantangan untuk pembangunan. Pemerintah yang memilih desentralisasi memandang
bahwa dengan penerapan desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik dan
kesatuan bangsa karena masing-masing daerah memiliki kebebasan dalam
pengambilan keputusan sehingga dapat meningkatkan keterlibatan dalam sistem
politik. Dengan adanya desentralisasi ini, maka Pemerintah Daerah diberikan
wewenang lebih besar dalam pengambilan keputusan bagi daerahnya dengan
pendekatan yang lebih sesuai. Pemberlakuan desentralisasi juga dapat mengurangi
biaya atas penyediaan layanan publik dengan menekan diseconomy of scale.[3]
Desentralisasi ini berperan dalam
pelaksanaannya untuk adanya pendemokrasian di daerah, oleh karena itu di
daerah-daerah diadakan pula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang
bertanggung jawab pada kepala daerah masing-masing baik ditingkat I atau di
tingkat II. Menurut undang-undang No.5 Tahun 1974 yang dimaksud pemerintahan
daerah adalah kepala daerah berserta seluruh aparatnya seperti Sekretaris
Daerah yang ada di daerah tersebut sebagai aparat eksekutif. Sedangkan sebagai
aparat legislatifnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik tingkat I atau
tingkat II sesuai tingkatan masing-masing.
Desentralisasi pemerintahan yang
melaksanaannya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah ini
bertujuan untuk memungkikan daerah-daerah tersebut meningkatkan daya guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian Daerah perlu diberikan wewenang untuk
melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, serta
sekaligus memiliki pendapatan daerah seperti pajak-pajak daerah, retribusi daerah
dan lain-lain pemberian[4].
Sehubungan dengan asas Negara
kesatuan yang didesentralisasikan, Bagir Manan dan Ateng Syarifudin menyatakan
bahwa dari sudut penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi antara lain
bertujuan untuk “meringankan” beban pekerjaan pusat. Dengan desentralisasi
berbagai tugas dan pekerjaan dialihkan kepada daerah.
Sedangkan menurut Maria Pilar Garcia-Guadila disebutkan
salah satu tujuan desentralisasi adalah memperluas demokrasi dengan mengubah
hubungan kekuasaan antarnegara, pasar dan masyarakat sipil.
Syaukani, Affan Gaffar dan Ryaas Rasyid dengan mengutip
pendapat BC Smith mengemukakan setidak-tidaknya ada empat belas alasan yang
merupakan rasionalitas dari desentralisasi, yaitu :
a. Desentralisasi dapat merupakan cara
yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat
sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan, terutama dalam
perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan tahu
betul masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan desentralisasi maka perencanaan
dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang heterogen.
b. Desentralisasi dapat memotong jalur
birokrasi yang rumit serta prosedur yang terstruktur dari pemerintahan pusat.
c. Dengan desentralisasi fungsi dan
penugasan kepada pejabat di daerah, maka tingkat pemahaman serta sensitivitas
terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan meningkat. Kontak hubungan yang
meningkat antara pejabat dengan masyarakat setempat akan memungkinkan kedua
belah pihak untuk memiliki informasi yang lebih baik, sehingga dengan demikian
akan mengakibatkan perumusan kebijakan yang lebih realistik dari pemerintah.
d. Desentralisasi akan mengakibatakan
terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah
yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana
pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite
local dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
e. Desentralisasi memungkinkan
representasi lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di
dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam
mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
f. Desentralisasi dapat meningkatkan
kapasitas pemerintahan serta lembaga privat di daerah yang kemudian dapat
meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini
dijalankan oleh Departemen yang ada di pusat. Dengan desentralisasi maka
peluang bagi masyarakat di derah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan
managerial.
g. Desentralisasi dapat meningkatkan
efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat di pusat menjalankan
tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan
demikian, pejabat di pusat dapat mengguanakan waktu dan energy mereka untuk
melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi kebijaksanaan.
h. Desentralisasi juga dapat
menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapar dikoordinasi
secara efektif bersamaan dengan pejabat daerah dan sejumlah NGO di berbagai
daerah. Provinsi, kabupaten dan kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi
bagi program pemerintah khususnya di dunia ketiga di mana banyak sekali program
pedesaan yang dijalankan.
i.
Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan
guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi
program. Struktur seperti itu dapat merupakan wahan bagi pertukaran informasi
yang menyangkut kebutuhan masing-masing daerah kemudian secara bersama-sama
menyampaikan kepada pemerintah.
j.
Dengan menyediakan model alternatif cara pembuatan
kebijaksanaan, desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas
berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elite lokal yangs erring kali tidak
simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitive terhadap dapat
kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
k. Desentralisasi dapat menghantarkan
kepada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif dan kreatif.
Pemerintah daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi serta
berkeksperimen dengan kebijaksaan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa
harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah Negara. Kalau mereka berhasil
maka dapat dicontoh oleh daerah yang lainnya.
l.
Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat
memungkinkan emimpin di daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif
di tengah-tengah masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolir,
memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih
baik daipada yang dilakukan oleh pejabat di pusat.
m. Desentralisasi dapat memantapkan
stabiltas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada
berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara langsung
dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan
kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik.
n. Desentralisasi dapat meningkatkan
penyediaan barang dan jasa ditingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah,
karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah
diserahkan kepada daerah.[5]
Kebijakan
Pemerintah Indonesia dibidang Otonomi Daerah, telah berpengaruh secara nyata
terhadap sistem pemerintahan dan keuangan. Dari sentralisasi kepada
desentralisasi. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999, dimana
pemberian kewenangan otonomi daerah tersebut adalah dalam wujud otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab, termasuk dalam hal ini terutama adalah
kewenangan dalam desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25
tahun 1999.
Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengandung suatu implikasi
bahwa transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menunjukkan jumlah yang
semakin besar, sehingga kemampuan keuangan daerah meningkat disertai dengan
peningkatan kewenangan dalam pengelolaannya.
Dampak dari kebijakan otonomi daerah telah menimbulkan peluang
peningkatan kegiatan perekonomian daerah, terutama di daerah luar Jawa, yang
selama ini mengalami ketinggalan dibanding Jakarta atau Jawa. Kegiatan bisnis
daerah yang semakin berkembang tersebut pada gilirannya akan menarik investor
untuk menanamkan modalnya di daerah, termasuk dalam hal ini adalah lembaga
keuangan mikro dan perbankan. Kehadiran mereka diharapkan akan semakin
meningkatkan bisnis daerah yang bersangkutan, melalui berbagai produk yang
ditawarkannya.[6]
2.
Penerapan
asas dekonsentrasi
Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah
propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah.
Penerapan asas
dekonsentrasi adalah pada wilayah administratif yaitu lingkungan kerja
perangkat pemerintah umum di daerah[7].
Sehingga wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi :
1. Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara
2. Wilayah Kabupaten atau Kota
3. Wilayah Kecamatan.
Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, secara normatif ketiga asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi
serta tugas pembantuan dilaksanakan secara berimbang. Meskipun dalam
kenyataannya, pelaksanaan asas dekonsentrasi jauh lebih dominan dibandingkan
pelaksanaan kedua asas lainnya. Sedemikian besar peranan asas dekonsentrasi
sehingga otonomi yang diberikan kepada Daerah Otonom sebenarnya hanyalah
otonomi semu (quasi autonomy). Hal ini terlihat dari beberapa ciri-ciri
antara lain :
1. Daerah tidak diberi hak-hak otonomi secara penuh.
2. Campur tangan pemerintah Pusat atau pejabat pemerintah Pusat
terhadap isi otonomi yang sudah diserahkan sangat besar. Campur tangan tersebut
terutama dilakukan pada tingkatan menteri ke bawah.
3. Anggaran dekonsentrasi masih lebih besar dibandingkan anggaran
desentralisasi, disamping sebagian besar APBD masih berasal dari subsidi
pemerintah pusat.
4. Pemerintah pusat “menguasai” daerah melalui tiga jalur yakni
jalur keuangan, jalur personil serta jalur kewenangan.
Seperti telah diketahui bersama bahwa daerah otonom sekurang – kurangnya memiliki
empat hak dasar yakni:
1.
hak
memilih pemimpinnya sendiri secara bebas.
2.
hak
memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri secara bebas.
3.
hak
membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas.
4.
hak
kepegawaian.
Pengaturan pelimpahan wewenang pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974
cukupdilakukan dengan keputusan menteri bersangkutan, sehingga banyak sekali
peraturan pada tingkatan menteri dan atau direktur jenderal yang
“mengintervensi” pelaksanaan otonomi di daerah.
Berbeda dengan UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999
yang disusun sebagai kontra-konsep dari UU sebelumnya, justru sangat membatasi
penggunaan asas dekonsentrasi maupun asas tugas pembantuan – karena lebih
mengutamakan penggunaan asas desentralisasi. Asas dekonsentrasi hanya
dilaksanakan secara terbatas pada Kabupaten/Kota – terutama menyangkut lima
kewenangan utama pemerintah pusat sesuai pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun
1999, yakni kewenangan politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan
keamanan, peradilan, agama serta kewenangan bidang lainnya. Di sisi lain,
pelaksanaan asas dekonsentrasi dikehendaki justru lebih diperkuat pada tingkat
Propinsi. Hanya saja, UU Nomor 22 Tahun 1999 setengah hati dalam mengatur
pelaksanaan asas dekonsentrasi karena ada kekhawatiran asas ini akan kembali
mendominasi pelaksanaan desentralisasi di daerah. Sebab berdasarkan disain
awalnya (by design), pemerintahan dalam negara kesatuan bersifat
sentralistik karena sumber kewenangan yang dipencarkan memang berasal dari
tangan pemerintah pusat (dalam hal ini eksekutif).
Disebut dekonsentrasi setengah hati karena:
1.
Di dalam
UU Nomor 22 Tahun 1999, tidak pernah disebut Gubernur sebagai Kepala Wilayah
Administrasi, tetapi sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Sebutan Kepala
Wilayah Administrasi baru muncul pada penjelasan PP Nomor 39 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Dekosentrasi.
2. Pengaturan tentang dekonsentrasi di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999
juga sangat terbatas, dan kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Presiden.
3. Adanya kerancuan penggunaan asas penyelenggaraan pemerintahan
Daerah, yakni antara asas dekonsentrasi dengan asas desentralisasi. Pada pasal
63 UU Nomor 22 Tahun 1999 dikemukakan bahwa pelaksanaan asas dekonsentrasi oleh
Gubernur dijalankan oleh Dinas Propinsi, padahal Dinas Propinsi adalah alat
desentralisasi. Secara teoretis, pelaksanaan asas dekonsentrasi seharusnya
dijalankan oleh aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Dengan adanya
pemisahan secara jelas akan mempermudah dalam hal penggunaan hak, wewenang dan
tanggung jawab.
4. Di dalam menjalankan asas dekonsentrasi, Gubernur hanya dibantu
oleh Sekretaris Daerah yang karena jabatannya adalah juga Sekretaris Wilayah
Administrasi. Tetapi berdasarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri - Sekretaris
Daerah Propinsi kemudian disebut Sekda, bukan Sekwilda. Hal ini memarginalisasi
peranan Sekda Propinsi sebagai Sekretaris Wilayah Administrasi.
Dilihat dari segi manajemen pemerintahan, kewenangan luas, utuh dan bulatyang diberikan kepada Daerah
Kabupaten/Kota seharusnya diimbangi dengan pengawasan yang setara dengan
kewenangannya. Dalam hal ini Gubernur sebagai Kepala Wilayah maupun sebagai
Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dapat diberi peranan yang lebih besar –
sebagai kompensasi dari pengurangan isi otonomi daerah propinsi. Penguatan
tersebut dapat berupa pelimpahan kewenangan dalam bidang pembinaan dan
pengawasan jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dengan membatasi
hubungan langsung antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dewasa ini terdapat 371 Daerah Kabupaten/Kota, dan jumlah ini
dari waktu ke waktu cenderung terus bertambah. Apabila semuanya harus melapor
dan diawasi langsung oleh Pemerintah Pusat, jelas tidak akan efektif dan
efisien. Secara teoretis rentang kendali (span of control) seseorang atau
sesuatu instansi jumlahnya terbatas. Apabila rentang kendalinya terlampau luas
akan timbul gejala lepas kendali (out of control), dengan ciri-ciri
tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah
Pusat. Di sisi lain, apabila terlampau banyak mengurusi masalah-masalah
internal, pemerintah pusat akan kehilangan momentum untuk berkiprah di dunia
internasional yang mengakibatkan citra negara dan bangsa menjadi semakin
terpuruk.
Dengan adanya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, sebenarnya sudah sangat membatasi
campur tangan pemerintah pusat terhadap implementasi desentralisasi di Daerah –
yang selama ini memang datang dari pejabat tingkat menteri ke bawah. Hal
tersebut diperkuat lagi dengan isi dan jiwa PP Nomor 39 Tahun 2001 yang
menegaskan pelimpahan kewenangan dalam rangka dekonsentrasi hanya dapat
dilakukan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden. Apabila para Menteri
mempunyai inisiatif untuk melakukan pelimpahan kewenangan, materinya
disampaikan kepada Presiden setelah lebih dahulu berkonsultasi dengan
pihak-pihak yang akan diberi delegasi kewenangan.[8]
3.
Penerapan
asas tugas pembantuan
Tujuan diberikannya Tugas Pembantuan adalah untuk
lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pembangunan serta
pelayanan umum kepada masyarakat. Implementasi Asas Desentralisasi dalam
pengaturan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibagi dalam dua urusan, yaitu
urusan wajib dan urusan pilihan, dimana hampir seluruh kewenangan tersebut
sudah dilaksanakan. Implementasi Asas Tugas Pembantuan dalam pengaturan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Kabupaten yaitu Tugas Pembantuan yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat kepada Kabupaten ,
Tugas Pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Kepada
Pemerintah Kabupaten dan Tugas Pembantuan yang diberikan oleh
Pemerintah Kabupaten kepada Desa.
Adapun latar belakang diberikannya Tugas Pembantuan
di dalam Pemerintahan adalah:
1. Adanya
peraturan perundang-undangan yang membuka peluang diilakukannya pemberian tugas
pembantuan (pasal 18A uud 1945, UU no 32 Tahun 2004 dan UU no 33 Tahun 2004).
2. Adanya
political will untuk memberikan
pelayanan yang lebih baik ke masyarakat secara lebih murah, lebih cepat, lebih
mudah dan lebih akurat (close to the
customer).
3. Adanya
political will untuk menyelenggarakan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat secara lebih ekonomis,
efisien dan efektif, transparan serta akuntabel (value for money).
4. Adanya
perubahan paradigma dimana keberadaan daerah dan desa yang kuat akan menjadikan
negara kuat.
5. Citra Pemerintah Pusat akan dengan mudah diukur
oleh masyarakat melalui maju dan mundurnya Desa atau Daerah.
Pada UU Nomor 22 tahun
1999,tidak terdapat bab secara khusus yang mengatur tentang tugas
pembantuan.pengaturannya tersebar pada pasal 13 untuk penugasan dari
pemerintahan pusat kepada Daerah,dan pasal 100 untuk penugasan dari Pemerintah
Pusat dan atau Pemerintah Daerah kepada Desa Di dalam pasal 13 ayat (2) di
sebutkan bahwa setiap penugasan dalam
rangka tugas pembantuan di tetapkan dengan peraturan perundang-undangan.peraturan
perundang-undangan yang di maksudkan di sini tidak harus berbentuk UU,melainkan
juga dapat berbentuk peraturan pemerintah,Keputusan Presiden,dan peraturan
lainnya yang sejenis. Sampai saat ini baru ada PP Nomor 52 Tahun 2001 tentang
penyelenggaraan Tugas pembantuan sebagai pedoman pelaksanaan tugas pembantuan
bagi Pemerintah Pusat,Daerah maupun Desa. Sedangkan peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur setiap penugasan dalam rangka tugas
pembantuan belum berdata dengan lengkap.
Di dalam pasal-pasal
tersebut di atas di kemukakan bahwa pihak yang memberikan tugas pembantuan
adalah institut Pemerintah (Pemaerintah Pusat,Pemerintah Daerah
propinsi,pemerintah Daerah Kabupaten/Kota).Sedangkan yang menerima tugas
pembantuan adalah Daerah dan atau Desa sebagai Kesatuan masyarakat hukum.
Manifestasi dari Daerah ataupun Desa adalah pada Kepala Daerah dan Kepala
Desa.Hal tersebut tercermin dari bunyi pasal 17 PP Nomor 52 Tahun 2001,dimana
penanggungjawab pelaksanaan tugas pembantuan adalah Kepala Daerah dan Kepala
Desa.
Fenomena implementasi asas
tugas pembantuan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004
menarik untuk dikaji secara mendalam. Terlebih lagi sampai saat ini belum ada
buku yang secara khusus membahas secara tuntas mengenai hal tersebut. Disebut
menarik karena asas tugas pembantuan nampaknya dijadikan strategi jalan keluar
bagi pengurangan kewenangan yang sangat drastis bagi pemerintah pusat. Melalui
asas tugas pembantuan, dana-dana dekonsentrasi yang semula dialokasikan kepada
instansi vertika di kabupaten/kota dan propinsi pada masa UU Nomor 5 Tahun
1974, ditarik ke atas untuk kemudian didistribusikan kembali ke daerah melalui
mekanisme tugas penbantuan. Asas ini sekaligus juga sebagai salah satu alat
kendali pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui jalur keuangan.
Selama ini pemerintah pusat mangendalikan daerah melalui tiga jalur yakni
kewenangan, kepegawaian, serta keuangan. Setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun
1999, alat kendali pemerintah pusat hanya melalui keuangan saja, karena
kewenangan dan kepegawaian sudah diserahkan kepada daerah.
Setelah UU Nomor 22 Tahun
1999 berusia sekitar lima tahun, implementasi asas tugas pembantuan masih
relatif terbatas. Implementasi yang nampak secara nyata barulah dari pemerintah
pusat ke daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota. Sedangkan implementasi dari
pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten ke desa masih sangat terbatas.
Salah satu propinsi yang merintis pelaksanaan asas tugas pembantuan belum di
laksanakan secara intensif. Salah satu diantaranya kesalahan persepsi mengenai
pengertian tugas pembantuan yang dicampur adukan dengan pengertian pemberian
bantuan. Padahal nilai yang dimaksimumkan dari asas tugas pembantuan adalah efektivitas dan efisiensi.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi
adanya otonomi daerah adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk
lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan
pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
–
Karsayuda, Rifqinizamy.
2015. Partai Politik Lokal Untuk
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
–
Syafiie, Inu Kencana.
2002.Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta:Rineka
Cipta.
–
Widjaja, Haw. 2014. Otonimi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta:
Rajawali Pers.
–
http://muchsinal-mancaki.blogspot.co.id/2012/02/implementasi-azas-dekonsentrasi.html
[1] Haw Widjaja, Otonimi Daerah
dan Daerah Otonom, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm 76-78.
[2] Inu Kencana Syafiie, Sistem
Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 156-161.
[3]Nadya Claudya Simanjuntak,
“Makalah Otonomi Daerah”, diakses
dari http://nadyasimanjuntak.blogspot.co.id/2013/03/makalah-otonomi-daerah.html, pada tanggal 20 Okt 2016
pukul 14.00.
[4] Inu Kencana Syafie, op.cit. hlm 79
[5]M. Rifqinizamy Karsayuda, Partai
Politik Lokal Untuk Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm 62-65.
[6]Listya Komala, , “ Peranan
Otonomi Daerah Terhadap Perdagangan dan Bisnis di Indonesia”, diakses dari https://jadikecil.wordpress.com/karya-tulis-pkn-peranan-otonomi-daerah-terhadap-perdagangan-dan-bisnis-di-indonesia/, pada tanggal 23 Okt 2016
pukul 20.00.
[7]Inu Kencana Syafie, op.cit. hlm 78
[8] Muhsin Albantani, “Implementasi
Azas Dekonsentrasi”, diakses dari http://muchsinal-mancaki.blogspot.co.id/2012/02/implementasi-azas-dekonsentrasi.html, pada tanggal 23 Okt 2016
pukul 20.30.
[9]Dinas
Pendidikan dan Pelatihan WWP Materi Kuliah, “
Makalah Tugas Pembantuan” diakses dari http://dispenmaterikuliah.blogspot.co.id/2011/08/makalah-tugas-pembantuan.html,
pada tanggal 23 Okt 2016 pukul 20.05.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar