Kamis, 23 Maret 2017

Penerapan Dari Asas – asas Otonomi Daerah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintahan pusat di jalankan oleh presiden, seperti yang di atur dalam pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi ”Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden di Bantu oleh wakil presiden, menteri-menteri, dan kepala lembaga pemerintahan nondepartemen. Kesemua tingkatan tersebut kemudian di sebut pemerintah pusat atau pemerintah.
Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia Kelembagaan Pemerintah Daerah merupakan elemen dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di suatu daerah, selain elemen urusan pemerintahan dan kapasitas aparatur pemerintah daerah itu sendiri.
Pengaturan terhadap kelembagaan atau sering disebut dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), telah diatur dan ditetapkan berdasarkan PP No. 84 Tahun 2000, yang diganti dengan PP No. 8 Tahun 2003, dan kemudian direvisi menjadi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP No. 41 Tahun 2007 tersebut, disebutkan bahwa pelaksanaan peraturan perundangan ini diharapkan dapat selesai dalam waktu 1 tahun sejak ditetapkan. Akhir tahun 2008 merupakan batas waktu bagi pemerintah daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah mengenai Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi Otonomi Daerah?
2.      Apa saja asas – asas Otomomi Daerah?
3.      Bagaimana penerapan  dari asas – asas Otonomi Daerah tersebut?
C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui pengertian otonomi daerah
2.      Untuk Mengetahui asas-asas otonomi daerah
3.      Untuk Mengetahui penerapan dari asas-asas otonomi daerah



BAB II
ASAS – ASAS OTONOMI DAERAH
A.    Definisi Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah daerah dengan otonomi adalah proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan yang di capai dalam penyerahan urusan ini adalah antara lain: menumbuh kembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbugan. 
Sejalan dengan penyerahan urusan, apabila urusan tersebut akan menjadi beban daerah, maka akan dilaksanakan melalui asas medebewind atau asas pembantuan. Proses dari sentralisasi ke desentralisasi ini pasa dasarnya tidak semata-mata desentralisasi administratif, tetapi juga bidang politik dan sosial budaya. 
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, terdapat tiga pola otonom, yaitu provinsi, kabupaten, dan kota. Di samping sebagai daerah otonom, provinsi ditetapkan sebagai daerah administratif dalam rangka desentralisasi. Oleh karena itu, gubernur memiliki peranan ganda, disisi lain sebagai kepala daerah dan disisi satu lagi sebagai wakil pemerintah. Semua provinsi daerah tingkat I dan kabupaten/kotamadya daerah tingkat II yang telah ada sebelum Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 dikonversikan menjadi provinsi, kabupaten, dan kota. Pembentukan daerah otonom yang baru pada hakikatnya sebagai pemekaran daerah otonom yang perlu memenuhi pasal 5,6, dan penjelasan pasal 115.
Dalam daerah otonom terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Unsur (elemen) batas wilayah. Sebagai kesatuan masyarakat hukum, batas suatu wilayah sangan menentukan untuk kepastian hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam melakukan interaksi hukum. Disisi lain, batas wilayah ini sangat penting apabila ada sengketa hukum yang menyangkut wilayah perbatsan antardaerah.
2.      Unsur (elemen) pemerintahan. Eksistensi pemerintahan didaerah didasarkan atas legitimasi undang-undang yang memberikan kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan yang berwenang mengatur berdasarkan kreativitasnya sendiri.
3.      Unsur masyarakat. Masyarakat sebagai elemen pemerintahan daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum, baik gemeinschaft maupun gesselschaft jelas mempunyai tradisi, kebiasaan, dan adat istiadat yang tururt mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai dari bentuk cara berpikir, bertindak, dan kebiasaan tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Konsep pemikiran tentang otonomi daerah mengandung pemaknaan terhadap eksistensi otonomi tersebut terhadap penyelenggaran pemerintahan daerah.
Pemikiran pertama, bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. Arti seluas-luasnya ini mengandung makna bahwa daerah diberikan kewenangan membuat kebijakan daerah, untuk memberi layanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemikiran kedua, bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada, serta berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.[1]
B.     Asas – asas Otonomi Daerah
Salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang dianut oleh undang-undang No. 5 Tahun 1974 adalah bahwa asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekosentralisasi dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan. Dengan perkataan lain, Undang-Undang No.5 Tahun1974 menganut tiga asas dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu desentralisasi, dekosentrasi, dan tugas pembantuan.
1.      Asas Desentralisasi
Pengertian desentralisasi dalam Undang-Undang No.5 Tahun1974 adalah sederhana dan jelas, yaitu sebagai tercantum dalam pasal 1 huruf b yang menyatakan, bahwa “desentralisasi” adalah penyerahan urusan pemerintahan pusat atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Pengertian desentralisasi yang secara otentik tercantum dalam pasal 1 huruf b tersebut, lebih di perjelas lagi dalam penjelasan umum sebagai berikut:
“urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi pada dasarnya menjadi wewenang dan tanggung jawan daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaan. Demikian pula perangkat pelaksanaannya adalah perangkat daerah itu sendiri, yaitu terutama dinas-dinas daerah”
Urusan semula diserahkan dengan peraturan pemerintah penarikkannya kembali harus dilakukan dengan peraturan pemerintah dan urusan-urusan yang semula diserahkan dengan Undang-undang (pada saat pembentukan daerah bersangkutan) penarikkannya harus dilakukan dengan undang-undang.
Kelebihan dari Asas Desentralisasi
1)      Struktur organisasi yang didesentralisasib bebobot pendelegasian wewenang yangmemperingan beban menejemen teratas.
2)      Lebih berkembang generalis daripada spesialis dan dengan demikian membuka kedudukanuntuk menejer umum.
3)      Hubungan dan kaitan yang akrab dapat ditingkatkan yang mengakibatkan gairah kerja dan koordinasi yang baik  
4)      Kebiasaan dengan aspek kerja yang khusus dan penting siap untuk dipergunakan.
5)      Efisiensi dapat ditingkatkan sepanjag struktur dapat diandang sebagai suatu kebulatandemikian rupa sehingga kesuliatan dapat dilokalisasi dan dapat dipecahkan dengan mudah.
6)      Bagi perusahaan yang besar dan tersebar diberbagi tempat, dapat diperoleh manfaat sebesar – besarnya dari keadaaa tempat masing-masing.
7)      Rencana dapat dicoba dalam tahap eperimen pada suatu perusahaan, dapat diubah dan dibuktikan sebelum diterapkan pada bagian lain yang sejenis dari bagian usahanya yang sama.
8)      Resiko yang mencakup kerugian, kepegawaian, fasilitas dan perusahaan dapat terbagi.


2.      Asas Dekosentrasi
Pengertian dekosentasi tercantum dalam pasal 1 ayat f, yaitu “pelimpahan dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah”. Jadi uruan-urusan yang diselenggarakan menurut asas dekosentrasi ini tetap merupakan unsur pemerintah pusat dan pelaksana atau penyelenggaraannya adalah pejabat atau perangkat pemerintah pusat.
Mengenasi asas dekosentrasi ini dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan umum Undang-undang No.5 Tahun 1974 sebagai berikut:
“oleh karena tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada daerah menurut asas dekosentrasi, maka penyelenggaraan sebagai urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh perangkat pemerintah di daerah berdasarkan asas dekosentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan pemerintah pada pejabat-pejabatnya di daerah menurut asas dekosentrasi ini tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat baik mengenai perencanaan, pelaksanaan maupunpembiayaan. Unsur pelaksanaannya adalah terutama instansi-instansi vertikal, yang dikordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku perangkat pemerintah pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan dekosentrasi tersebut sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat”.
Ciri – ciri dari asas ini adalah sebagai berikut:
a)      Bentuk pemencaran adalah pelimpahan 
b)      Pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perseorangan)
c)      Yang dipencar (bukan urusan pemerintah) tetapi wewenang untuk melaksanakan sesuatu. 
d)     Yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.

3.      Asas Tugas Pembantuan (medebewind)
Apa yang dimaksud dengan tugas pembantuan telah tercantum pengertiannya dalam pasal 1 huruf d sebagai berikut:
Tugas pembantuan adalah tugas untuk turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Asas tugas pembantuan ini mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Apabila asas ini dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya, maka tidak perlu dibentuk terlalu banyak perangkat-perangkat pemerintah pusat di daerah, karena banyak tugas-tugas pemerintah pusat yang pelaksanaannya dapat dibebankan kepada pemerintah di daerah menurut asas tugas pembantuan. [2]



C.    Penerapan dari Asas – asas Otonomi Daerah

1.      Penerapan asas desentralisasi
Penerapan desentralisasi dalam otonomi daerah di Indonesia ingin menjawab beberapa tantangan untuk pembangunan. Pemerintah yang memilih desentralisasi memandang bahwa dengan penerapan desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik dan kesatuan bangsa karena masing-masing daerah memiliki kebebasan dalam pengambilan keputusan sehingga dapat meningkatkan keterlibatan dalam sistem politik. Dengan adanya desentralisasi ini, maka Pemerintah Daerah diberikan wewenang lebih besar dalam pengambilan keputusan bagi daerahnya dengan pendekatan yang lebih sesuai. Pemberlakuan desentralisasi juga dapat mengurangi biaya atas penyediaan layanan publik dengan menekan diseconomy of scale.[3]
Desentralisasi ini berperan dalam pelaksanaannya untuk adanya pendemokrasian di daerah, oleh karena itu di daerah-daerah diadakan pula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bertanggung jawab pada kepala daerah masing-masing baik ditingkat I atau di tingkat II. Menurut undang-undang No.5 Tahun 1974 yang dimaksud pemerintahan daerah adalah kepala daerah berserta seluruh aparatnya seperti Sekretaris Daerah yang ada di daerah tersebut sebagai aparat eksekutif. Sedangkan sebagai aparat legislatifnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik tingkat I atau tingkat II sesuai tingkatan masing-masing.
Desentralisasi pemerintahan yang melaksanaannya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah ini bertujuan untuk memungkikan daerah-daerah tersebut meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian Daerah perlu diberikan wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, serta sekaligus memiliki pendapatan daerah seperti pajak-pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain pemberian[4].
Sehubungan dengan asas Negara kesatuan yang didesentralisasikan, Bagir Manan dan Ateng Syarifudin menyatakan bahwa dari sudut penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi antara lain bertujuan untuk “meringankan” beban pekerjaan pusat. Dengan desentralisasi berbagai tugas dan pekerjaan dialihkan kepada daerah.
Sedangkan menurut Maria Pilar Garcia-Guadila disebutkan salah satu tujuan desentralisasi adalah memperluas demokrasi dengan mengubah hubungan kekuasaan antarnegara, pasar dan masyarakat sipil.
Syaukani, Affan Gaffar dan Ryaas Rasyid dengan mengutip pendapat BC Smith mengemukakan setidak-tidaknya ada empat belas alasan yang merupakan rasionalitas dari desentralisasi, yaitu :
a.       Desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan, terutama dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan desentralisasi maka perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang heterogen.
b.      Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang terstruktur dari pemerintahan pusat.
c.       Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah, maka tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan masyarakat setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk memiliki informasi yang lebih baik, sehingga dengan demikian akan mengakibatkan perumusan kebijakan yang lebih realistik dari pemerintah.
d.      Desentralisasi akan mengakibatakan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite local dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
e.       Desentralisasi memungkinkan representasi lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
f.       Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga privat di daerah yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh Departemen yang ada di pusat. Dengan desentralisasi maka peluang bagi masyarakat di derah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.
g.      Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat di pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan demikian, pejabat di pusat dapat mengguanakan waktu dan energy mereka untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi kebijaksanaan.
h.      Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapar dikoordinasi secara efektif bersamaan dengan pejabat daerah dan sejumlah NGO di berbagai daerah. Provinsi, kabupaten dan kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah khususnya di dunia ketiga di mana banyak sekali program pedesaan yang dijalankan.
i.        Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Struktur seperti itu dapat merupakan wahan bagi pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan masing-masing daerah kemudian secara bersama-sama menyampaikan kepada pemerintah.
j.        Dengan menyediakan model alternatif cara pembuatan kebijaksanaan, desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elite lokal yangs erring kali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitive terhadap dapat kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
k.      Desentralisasi dapat menghantarkan kepada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif dan kreatif. Pemerintah daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi serta berkeksperimen dengan kebijaksaan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah Negara. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh daerah yang lainnya.
l.        Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat memungkinkan emimpin di daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengah-tengah masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolir, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik daipada yang dilakukan oleh pejabat di pusat.
m.    Desentralisasi dapat memantapkan stabiltas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik.
n.      Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa ditingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah diserahkan kepada daerah.[5]
Kebijakan Pemerintah Indonesia dibidang Otonomi Daerah, telah berpengaruh secara nyata terhadap sistem pemerintahan dan keuangan. Dari sentralisasi kepada desentralisasi. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 22 tahun 1999, dimana pemberian kewenangan otonomi daerah tersebut adalah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, termasuk dalam hal ini terutama adalah kewenangan dalam desentralisasi fiskal sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 tahun 1999.
Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal mengandung suatu implikasi bahwa transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menunjukkan jumlah yang semakin besar, sehingga kemampuan keuangan daerah meningkat disertai dengan peningkatan kewenangan dalam pengelolaannya.
Dampak dari kebijakan otonomi daerah telah menimbulkan peluang peningkatan kegiatan perekonomian daerah, terutama di daerah luar Jawa, yang selama ini mengalami ketinggalan dibanding Jakarta atau Jawa. Kegiatan bisnis daerah yang semakin berkembang tersebut pada gilirannya akan menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah, termasuk dalam hal ini adalah lembaga keuangan mikro dan perbankan. Kehadiran mereka diharapkan akan semakin meningkatkan bisnis daerah yang bersangkutan, melalui berbagai produk yang ditawarkannya.[6]
2.      Penerapan asas dekonsentrasi
Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
Penerapan asas dekonsentrasi adalah pada wilayah administratif yaitu lingkungan kerja perangkat pemerintah umum di daerah[7]. Sehingga wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi :
1.      Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara
2.      Wilayah Kabupaten atau Kota
3.      Wilayah Kecamatan.
Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, secara normatif ketiga asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi serta tugas pembantuan dilaksanakan secara berimbang. Meskipun dalam kenyataannya, pelaksanaan asas dekonsentrasi jauh lebih dominan dibandingkan pelaksanaan kedua asas lainnya. Sedemikian besar peranan asas dekonsentrasi sehingga otonomi yang diberikan kepada Daerah Otonom sebenarnya hanyalah otonomi semu (quasi autonomy). Hal ini terlihat dari beberapa ciri-ciri antara lain :
1.      Daerah tidak diberi hak-hak otonomi secara penuh.
2.      Campur tangan pemerintah Pusat atau pejabat pemerintah Pusat terhadap isi otonomi yang sudah diserahkan sangat besar. Campur tangan tersebut terutama dilakukan pada tingkatan menteri ke bawah.
3.      Anggaran dekonsentrasi masih lebih besar dibandingkan anggaran desentralisasi, disamping sebagian besar APBD masih berasal dari subsidi pemerintah pusat.
4.      Pemerintah pusat “menguasai” daerah melalui tiga jalur yakni jalur keuangan, jalur personil serta jalur kewenangan.
Seperti telah diketahui bersama bahwa daerah otonom sekurang kurangnya memiliki empat hak dasar yakni:
1.      hak memilih pemimpinnya sendiri secara bebas.
2.      hak memiliki dan mengelola kekayaannya sendiri secara bebas.
3.      hak membuat aturan hukumnya sendiri secara bebas.
4.      hak kepegawaian.
Pengaturan pelimpahan wewenang pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 cukupdilakukan dengan keputusan menteri bersangkutan, sehingga banyak sekali peraturan pada tingkatan menteri dan atau direktur jenderal yang “mengintervensi” pelaksanaan otonomi di daerah.
Berbeda dengan UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 yang disusun sebagai kontra-konsep dari UU sebelumnya, justru sangat membatasi penggunaan asas dekonsentrasi maupun asas tugas pembantuan – karena lebih mengutamakan penggunaan asas desentralisasi. Asas dekonsentrasi hanya dilaksanakan secara terbatas pada Kabupaten/Kota – terutama menyangkut lima kewenangan utama pemerintah pusat sesuai pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999, yakni kewenangan politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan keamanan, peradilan, agama serta kewenangan bidang lainnya. Di sisi lain, pelaksanaan asas dekonsentrasi dikehendaki justru lebih diperkuat pada tingkat Propinsi. Hanya saja, UU Nomor 22 Tahun 1999 setengah hati dalam mengatur pelaksanaan asas dekonsentrasi karena ada kekhawatiran asas ini akan kembali mendominasi pelaksanaan desentralisasi di daerah. Sebab berdasarkan disain awalnya (by design), pemerintahan dalam negara kesatuan bersifat sentralistik karena sumber kewenangan yang dipencarkan memang berasal dari tangan pemerintah pusat (dalam hal ini eksekutif).
Disebut dekonsentrasi setengah hati karena:
1.      Di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, tidak pernah disebut Gubernur sebagai Kepala Wilayah Administrasi, tetapi sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Sebutan Kepala Wilayah Administrasi baru muncul pada penjelasan PP Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekosentrasi.
2.      Pengaturan tentang dekonsentrasi di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 juga sangat terbatas, dan kemudian dijabarkan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.
3.      Adanya kerancuan penggunaan asas penyelenggaraan pemerintahan Daerah, yakni antara asas dekonsentrasi dengan asas desentralisasi. Pada pasal 63 UU Nomor 22 Tahun 1999 dikemukakan bahwa pelaksanaan asas dekonsentrasi oleh Gubernur dijalankan oleh Dinas Propinsi, padahal Dinas Propinsi adalah alat desentralisasi. Secara teoretis, pelaksanaan asas dekonsentrasi seharusnya dijalankan oleh aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Dengan adanya pemisahan secara jelas akan mempermudah dalam hal penggunaan hak, wewenang dan tanggung jawab.
4.      Di dalam menjalankan asas dekonsentrasi, Gubernur hanya dibantu oleh Sekretaris Daerah yang karena jabatannya adalah juga Sekretaris Wilayah Administrasi. Tetapi berdasarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri - Sekretaris Daerah Propinsi kemudian disebut Sekda, bukan Sekwilda. Hal ini memarginalisasi peranan Sekda Propinsi sebagai Sekretaris Wilayah Administrasi.
Dilihat  dari  segi  manajemen  pemerintahan,  kewenangan luas,  utuh   dan  bulatyang diberikan kepada Daerah Kabupaten/Kota seharusnya diimbangi dengan pengawasan yang setara dengan kewenangannya. Dalam hal ini Gubernur sebagai Kepala Wilayah maupun sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dapat diberi peranan yang lebih besar – sebagai kompensasi dari pengurangan isi otonomi daerah propinsi. Penguatan tersebut dapat berupa pelimpahan kewenangan dalam bidang pembinaan dan pengawasan jalannya pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dengan membatasi hubungan langsung antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dewasa ini terdapat 371 Daerah Kabupaten/Kota, dan jumlah ini dari waktu ke waktu cenderung terus bertambah. Apabila semuanya harus melapor dan diawasi langsung oleh Pemerintah Pusat, jelas tidak akan efektif dan efisien. Secara teoretis rentang kendali (span of control) seseorang atau sesuatu instansi jumlahnya terbatas. Apabila rentang kendalinya terlampau luas akan timbul gejala lepas kendali (out of control), dengan ciri-ciri tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah Pusat. Di sisi lain, apabila terlampau banyak mengurusi masalah-masalah internal, pemerintah pusat akan kehilangan momentum untuk berkiprah di dunia internasional yang mengakibatkan citra negara dan bangsa menjadi semakin terpuruk.
Dengan adanya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, sebenarnya sudah sangat membatasi campur tangan pemerintah pusat terhadap implementasi desentralisasi di Daerah – yang selama ini memang datang dari pejabat tingkat menteri ke bawah. Hal tersebut diperkuat lagi dengan isi dan jiwa PP Nomor 39 Tahun 2001 yang menegaskan pelimpahan kewenangan dalam rangka dekonsentrasi hanya dapat dilakukan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden. Apabila para Menteri mempunyai inisiatif untuk melakukan pelimpahan kewenangan, materinya disampaikan kepada Presiden setelah lebih dahulu berkonsultasi dengan pihak-pihak yang akan diberi delegasi kewenangan.[8]
3.      Penerapan asas tugas pembantuan
Tujuan diberikannya Tugas Pembantuan adalah untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pembangunan serta pelayanan umum kepada masyarakat. Implementasi Asas Desentralisasi dalam pengaturan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibagi dalam dua urusan, yaitu urusan wajib dan urusan pilihan, dimana hampir seluruh kewenangan tersebut sudah dilaksanakan. Implementasi Asas Tugas Pembantuan dalam pengaturan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Kabupaten  yaitu Tugas Pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Kabupaten ,  Tugas Pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Kepada Pemerintah  Kabupaten  dan Tugas Pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten  kepada Desa.
Adapun latar belakang diberikannya Tugas Pembantuan di dalam Pemerintahan adalah:
1.      Adanya peraturan perundang-undangan yang membuka peluang diilakukannya pemberian tugas pembantuan (pasal 18A uud 1945, UU no 32 Tahun 2004 dan UU no 33 Tahun 2004).
2.      Adanya political will untuk memberikan pelayanan yang lebih baik ke masyarakat secara lebih murah, lebih cepat, lebih mudah dan lebih akurat (close to the customer).
3.      Adanya political will untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat secara lebih ekonomis, efisien dan efektif, transparan serta akuntabel (value for money).
4.      Adanya perubahan paradigma dimana keberadaan daerah dan desa yang kuat akan menjadikan negara kuat.
5.      Citra  Pemerintah Pusat akan dengan mudah diukur oleh masyarakat melalui maju dan mundurnya Desa atau Daerah.
Pada UU Nomor 22 tahun 1999,tidak terdapat bab secara khusus  yang mengatur tentang tugas pembantuan.pengaturannya tersebar pada pasal 13 untuk penugasan dari pemerintahan pusat kepada Daerah,dan pasal 100 untuk penugasan dari Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah kepada Desa Di dalam pasal 13 ayat (2) di sebutkan bahwa setiap penugasan dalam rangka tugas pembantuan di tetapkan dengan peraturan perundang-undangan.peraturan perundang-undangan yang di maksudkan di sini tidak harus berbentuk UU,melainkan juga dapat berbentuk peraturan pemerintah,Keputusan Presiden,dan peraturan lainnya yang sejenis. Sampai saat ini baru ada PP Nomor 52 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan Tugas pembantuan sebagai pedoman pelaksanaan tugas pembantuan bagi Pemerintah Pusat,Daerah maupun Desa. Sedangkan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur setiap penugasan dalam rangka tugas pembantuan belum berdata dengan lengkap.
Di dalam pasal-pasal tersebut di atas di kemukakan bahwa pihak yang memberikan tugas pembantuan adalah institut Pemerintah (Pemaerintah Pusat,Pemerintah Daerah propinsi,pemerintah Daerah Kabupaten/Kota).Sedangkan yang menerima tugas pembantuan adalah Daerah dan atau Desa sebagai Kesatuan masyarakat hukum. Manifestasi dari Daerah ataupun Desa adalah pada Kepala Daerah dan Kepala Desa.Hal tersebut tercermin dari bunyi pasal 17 PP Nomor 52 Tahun 2001,dimana penanggungjawab pelaksanaan tugas pembantuan adalah Kepala Daerah dan Kepala Desa.
Fenomena implementasi asas tugas pembantuan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 menarik untuk dikaji secara mendalam. Terlebih lagi sampai saat ini belum ada buku yang secara khusus membahas secara tuntas mengenai hal tersebut. Disebut menarik karena asas tugas pembantuan nampaknya dijadikan strategi jalan keluar bagi pengurangan kewenangan yang sangat drastis bagi pemerintah pusat. Melalui asas tugas pembantuan, dana-dana dekonsentrasi yang semula dialokasikan kepada instansi vertika di kabupaten/kota dan propinsi pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, ditarik ke atas untuk kemudian didistribusikan kembali ke daerah melalui mekanisme tugas penbantuan. Asas ini sekaligus juga sebagai salah satu alat kendali pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui jalur keuangan. Selama ini pemerintah pusat mangendalikan daerah melalui tiga jalur yakni kewenangan, kepegawaian, serta keuangan. Setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999, alat kendali pemerintah pusat hanya melalui keuangan saja, karena kewenangan dan kepegawaian sudah diserahkan kepada daerah.
Setelah UU Nomor 22 Tahun 1999 berusia sekitar lima tahun, implementasi asas tugas pembantuan masih relatif terbatas. Implementasi yang nampak secara nyata barulah dari pemerintah pusat ke daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota. Sedangkan implementasi dari pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten ke desa masih sangat terbatas. Salah satu propinsi yang merintis pelaksanaan asas tugas pembantuan belum di laksanakan secara intensif. Salah satu diantaranya kesalahan persepsi mengenai pengertian tugas pembantuan yang dicampur adukan dengan pengertian pemberian bantuan. Padahal nilai yang dimaksimumkan dari asas tugas pembantuan adalah efektivitas dan efisiensi.[9]








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi adanya otonomi daerah adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah.









DAFTAR PUSTAKA

     Karsayuda, Rifqinizamy. 2015. Partai Politik Lokal Untuk Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
     Syafiie, Inu Kencana. 2002.Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta.
     Widjaja, Haw. 2014. Otonimi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: Rajawali Pers.
     http://muchsinal-mancaki.blogspot.co.id/2012/02/implementasi-azas-dekonsentrasi.html









[1] Haw Widjaja, Otonimi Daerah dan Daerah Otonom, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm 76-78.
[2] Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 156-161.
[3]Nadya Claudya Simanjuntak, “Makalah Otonomi Daerah”, diakses dari http://nadyasimanjuntak.blogspot.co.id/2013/03/makalah-otonomi-daerah.html, pada tanggal 20 Okt 2016 pukul 14.00.
[4] Inu Kencana Syafie, op.cit. hlm 79
[5]M. Rifqinizamy Karsayuda, Partai Politik Lokal Untuk Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm 62-65.
[6]Listya Komala, , “ Peranan Otonomi Daerah Terhadap Perdagangan dan Bisnis di Indonesia”, diakses dari https://jadikecil.wordpress.com/karya-tulis-pkn-peranan-otonomi-daerah-terhadap-perdagangan-dan-bisnis-di-indonesia/, pada tanggal 23 Okt 2016 pukul 20.00.

[7]Inu Kencana Syafie, op.cit. hlm 78
[8] Muhsin Albantani, “Implementasi Azas Dekonsentrasi”, diakses dari http://muchsinal-mancaki.blogspot.co.id/2012/02/implementasi-azas-dekonsentrasi.html, pada tanggal 23 Okt 2016 pukul 20.30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kriminologi, Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang             Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kri...